Apa yang pertama kali terlintas ketika mendengar nama Kampung Ketandan? Perkampungan Pecinan?
Tidak salah, sih. Namun, meski dekorasi khas Tionghoa sepintas memang tampak mendominasi, Kampung Ketandan rupanya lebih dari sekadar pecinan.
Ketua RW setempat, Tjundoko menyebutkan bahwa Kampung Ketandan lebih tepat disebut sebagai pecinan peranakan. Pasalnya, orang-orang yang tinggal di Ketandan sebenarnya adalah peranakan, hasil dari perkawinan dan akulturasi dua budaya.
Orang-orang Tionghoa sendiri diperkirakan sudah ada di Nusantara sejak lebih dari 1.000 tahun silam. Meski kerap disebut pendatang, tetapi sesungguhnya mereka sudah berakulturasi dengan budaya sekitar.
"Inilah yang harus dipahami. Kenapa saya sampaikan ini, kenapa kita berbicara peranakan, karena kita sudah berakulturasi," jelas Tjundoko dalam wawancara bersama Guideku.
Bukti-bukti akulturasi budaya Tionghoa dengan budaya lain memang bisa ditemukan jelas di Ketandan. Di sini, aneka bangunan yang memiliki perpaduan gaya Tionghoa, Jawa, dan Eropa bisa ditemukan.
Begitupun dengan penduduk di Kampung Ketandan. Salah satu nama yang legendaris adalah Tan Jin Sing.
Bagi yang belum tahu Tan Jin Sing adalah Kapitan Tionghoa yang beragama muslim dan dulunya memiliki rumah di area Kampun Ketandan.
Dari Kampung Ketandan dan sosok Tan Jin Sing inilah, kita bisa belajar untuk lebih menghargai berbagai macam suku dan kebudayaan yang ada di Indonesia.
"Ini pesan untuk generasi muda Indonesia. Namanya Indonesia kan berbagai macam suku, bahasa, dan ras. Dengan setiap perbedaan kita bisa bersatu, jangan sampai dipecah-belah," ujar Tjundoko.
"Jangan sampai mindset masyarakat menganggap kita ini (orang Tionghoa) hanya pendatang, tidak ada jasa, hanya pedagang, itu keliru," tambah dia.
Bukan cuma itu, Kampung Ketandan juga memiliki berbagai aspek kebudayaan yang masih bisa diperkenalkan kepada wisatawan.
"Inilah yang membuat saya yakin memperkenalkan budaya Kampung Ketandan. Kita tahu ada satu hal yang luar biasa dari sejarah Kampung Ketandan sendiri, bahwa di sini terjadi akulturasi budaya," sambung Tjundoko.
"Supaya generasi muda tahu jika sejarah Kampung Ketandan sangat luar biasa, dalam hal kebangsaan, dengan perbedaan yang ada bisa bersama."
Salah satu acara yang diselenggarakan untuk memperkenalkan budaya pecinan peranakan di Ketandan sendiri hadir dalam bentuk Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY).
Digelar setiap tahunnya, PBTY tahun ini akan menjadi acara yang ke-15. Rencananya, PBTY 2020 akan digelar tanggal 2-8 Februari 2020.
Nantinya, Kampung Ketandan pun akan menjadi lokasi utama tempat Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta diselenggarakan.
Baca Juga
-
4 Exfoliating Toner Korea dengan Kandungan BHA, Ampuh Bantu Lawan Komedo!
-
Upside Down oleh Chanyeol: Tekad Kuat untuk Tak Menyerah pada Diri Sendiri
-
FYP Lagi Aneh, Muncul Tren 'Mama Muda' Menor dan Perang Fans Dadakan di TikTok
-
Dari Lapangan ke Lifestyle: Futsal sebagai Bahasa Gaul Anak Muda
-
Sinopsis New Tokyo Coast Guard, Drama Terbaru Ryuta Sato dan Shigeaki Kato
Artikel Terkait
-
Novel Gongka: Pengalaman Masa Kecil di Lingkungan Pecinaan di Era 1980-an
-
Rahasia Kelezatan Pia Glodok: Warisan Kuliner Lintas Generasi
-
LIVE STREAMING: Kemeriahan di Petak Sembilan saat Hari Raya Imlek
-
Apa Makna Lampion Merah dan Jeruk Imlek? Ternyata Bukan Sekadar Hiasan!
-
Nasi Campur Sedap Wangi: Menyelami Rasa Autentik di Jantung Pecinan Jakarta
Rona
-
Hijau dari Rumah: Satu Pohon Tanaman Melawan Gunungan Sampah
-
Tak Perlu Jadi Pahlawan Super: Aksi Sederhana untuk Bumi yang Lebih Baik
-
Kurangi Kertas, Cintai Bumi: Digitalisasi dalam Kehidupan Sehari-hari
-
Proker KKN Membuat Ganci dari Kain Perca: Edukasi Cinta Bumi Sejak Dini
-
Dari Limbah Jadi Tinta: Kreativitas Anak Bangsa
Terkini
-
4 Exfoliating Toner Korea dengan Kandungan BHA, Ampuh Bantu Lawan Komedo!
-
Upside Down oleh Chanyeol: Tekad Kuat untuk Tak Menyerah pada Diri Sendiri
-
FYP Lagi Aneh, Muncul Tren 'Mama Muda' Menor dan Perang Fans Dadakan di TikTok
-
Dari Lapangan ke Lifestyle: Futsal sebagai Bahasa Gaul Anak Muda
-
Sinopsis New Tokyo Coast Guard, Drama Terbaru Ryuta Sato dan Shigeaki Kato