Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Adela Puspita
apakah hari Kartini libur tanggal merah (Freepik)

Setiap tanggal 21 April, Indonesia serentak memajang potret perempuan berkebaya, pidato-pidato singkat tentang Raden Ajeng Kartini, dan slogan emansipasi wanita. Namun di balik gegap gempita itu ada pertanyaan yang jarang disentuh, yaitu kenapa semangat perjuangan perempuan hanya lantang terdengar saat Hari Kartini saja?

Fenomena ini jadi sorotan karena ada sebagian kaum perempuan yang menjadikan emansipasi hanya sebagai simbol tahunan, bukan perjuangan harian. Seruan kesetaraan gender, hak perempuan, dan anti-diskriminasi kerap muncul di panggung-panggung upacara atau media sosial saat April tiba, tapi hilang begitu kalender berganti bulan. Perjuangan yang semestinya berkelanjutan, berubah jadi rutinitas seremonial tanpa substansi.

Dikutip dari jurnal Pemahaman Emansipasi Wanita oleh Citra Mustikawati (2015), disebutkan bahwa "Emansipasi bukanlah soal perempuan melawan laki-laki, melainkan upaya melawan ketimpangan peran sosial yang membelenggu." Sayangnya, kutipan ini justru dijungkirbalikkan oleh sebagian kecil perempuan yang hanya ingin hak tanpa mau menanggung tanggung jawab, atau yang hanya ikut-ikutan karena tren tahunan.

Hal ini diperparah dengan fakta bahwa perempuan yang benar-benar konsisten memperjuangkan kesetaraan hanya sebagian kecil saja. Dalam jurnal Gender and Power Dynamics in Southeast Asia oleh Mina Roces (2022), dijelaskan bahwa "Hanya 30-35% aktivis perempuan di Asia Tenggara yang secara berkelanjutan terlibat dalam advokasi jangka panjang." Sisanya muncul sporadis dan pasif. Artinya, gaung emansipasi sering kali lebih kuat secara simbolik dibandingkan realitas sosialnya.

Sejarah emansipasi dunia menyajikan perjuangan keras yang tidak pernah instan. Di Eropa, tokoh seperti Mary Wollstonecraft di abad ke-18 sudah menulis A Vindication of the Rights of Woman, sebuah manifesto yang menyerukan agar perempuan diberi pendidikan dan kebebasan berpikir.

Di Amerika Serikat, gerakan suffragette (menuntut hak perempuan memilih dalam pemilu) di awal abad ke-20 bertarung puluhan tahun demi hak suara perempuan. Mereka dipenjara, dihina, bahkan ada yang kehilangan nyawa.

Di Indonesia, R.A. Kartini adalah contoh nyata emansipasi intelektual yang muncul dari balik tembok tradisi. Dalam suratnya kepada Abendanon, Kartini menulis, "Kami ingin belajar. Kami ingin berpikir. Kami ingin menjadi manusia sepenuhnya, bukan sekadar alat. "Tapi apakah semangat ini masih hidup? Atau tinggal potret di atas spanduk?

Lantas apa dampaknya jika suara emansipasi meredup atau bahkan padam? Dunia akan kembali pada titik di mana perempuan hanya dianggap pelengkap. Akses pendidikan bisa makin terbatas, kekerasan berbasis gender makin tak terbendung, dan perempuan akan terus dibebani ekspektasi tanpa diberi ruang bicara.

Dikutip dari buku Feminist Theory from Margin to Center oleh Bell Hooks (1984), ia mengatakan bahwa "Saat suara perempuan menghilang dari wacana publik, maka kekuasaan patriarki akan mengisi ruang itu dengan kontrol."

Sementara itu, sistem patriarki masih berakar kuat di masyarakat. Dikutip dari jurnal Social Determinants of Gender Inequality in Vietnam oleh Thi Quynh Trang Nguyen & Keith Simkin (2015), disebutkan bahwa "Patriarki modern justru tersamar dalam bentuk halus. Seperti keputusan rumah tangga yang selalu diambil pria, beban ganda pada ibu pekerja, hingga pembatasan perempuan dalam politik."

Contohnya, meskipun perempuan di Indonesia bebas mencalonkan diri, jumlah kepala daerah perempuan masih di bawah 10%. Bahkan di sektor pendidikan tinggi, masih ada stigma bahwa perempuan tak perlu sekolah tinggi karena akan "ujung-ujungnya di dapur".

Dan pertanyaan pamungkasnya adalah: apakah perempuan bisa bertahan tanpa emansipasi? Jawabannya: bisa, tapi hanya sebagai bayangan dari potensi sejatinya. Tanpa perjuangan, mereka akan terus jadi korban sistem. Bukan karena mereka lemah, tapi karena tidak diberi ruang untuk kuat.

Emansipasi bukan panggung musiman. Ia adalah proses panjang yang butuh konsistensi, bukan sekadar kebaya dan puisi tiap bulan April. Kartini tidak berjuang agar perempuan bisa tampil cantik saat peringatan-dia berjuang agar mereka bisa berpikir, memilih, dan hidup dengan martabat. Maka, saat seruan emansipasi hanya terdengar setahun sekali, mungkin sudah saatnya kita bertanya: siapa yang benar-benar memperjuangkan Kartini, dan siapa yang hanya menumpang nama besarnya?

Adela Puspita