Di balik lautan biru kehijauan dan gugusan karang yang menghipnotis mata, Raja Ampat menyimpan kisah yang barangkali tak semua pelancong ingin tahu. Ini bukan soal resort mewah di atas laut, atau cerita nelayan lokal yang akrab dengan hiu karang.
Ini tentang racun yang datang tanpa bau, tanpa warna, tapi perlahan menyusup ke dalam tubuh ikan pari, penyu, bahkan sampai ke piring makan kita. Namanya: logam berat. Salah satunya adalah nikel.
Beberapa waktu terakhir, Raja Ampat kembali menjadi sorotan. Bukan karena keindahan bawah lautnya, melainkan karena semakin gencarnya ekspansi pertambangan nikel yang mulai menggerus ruang hidup ekosistem di sana.
Tercatat, sejak 2020 luas tambang nikel melonjak tiga kali lipat, merambah area Gag, Kawe, hingga perairan Manuran. Ironisnya, wilayah-wilayah ini adalah bagian dari kawasan konservasi yang diakui UNESCO. Kalau pakai analogi manusia, ini seperti meracuni paru-paru sambil memakainya sebagai ikon pariwisata.
Masalahnya bukan cuma soal izin tambang. Yang lebih gawat adalah jejaknya: lumpur dan partikel logam berat yang dilepaskan ke laut. Dalam penelitian yang dilakukan di perairan Raja Ampat bagian utara, kadar nikel terdeteksi dalam jumlah kecil, memang masih di bawah ambang batas.
Tapi masalah lingkungan tidak selalu menunggu ambang batas itu jebol. Karena sifat logam berat seperti nikel itu akumulatif. Ia mengendap di sedimen, diserap plankton, lalu naik lewat rantai makanan dan masuk ke tubuh ikan, lalu ke manusia.
Sebuah studi lain di Halmahera bahkan mengungkap bahwa nikel yang terakumulasi di tubuh ikan bisa merusak ginjal dan hati mereka.
Di Weda Bay, nikel dalam tubuh ikan mencapai 0,09 mg/L bisa melewati batas yang direkomendasikan. Kerusakan yang terjadi bukan cuma jaringan tubuh, tapi juga fungsi reproduksi. Bayangkan kalau ini menimpa ikan pari dan penyu di Raja Ampat yang habitatnya tumpang tindih dengan area tambang.
Di sinilah ironi lainnya muncul. Raja Ampat, yang selama ini dielu-elukan sebagai "superhighway"-nya manta ray dan rumah dari 75% spesies karang dunia, justru dikepung oleh polutan tak kasat mata.
Sedimentasi dari tambang membuat laut menjadi keruh. Karang kesulitan mendapat cahaya. Ikan kehilangan rumah. Penyu kehilangan tempat bertelur. Tapi semua ini tidak seviral konten wisata drone yang mengapung di Instagram.
Apakah ini berarti wisata konservasi dan pertambangan bisa hidup berdampingan? Jawabannya mungkin tergantung siapa yang menjawab. Tapi data menunjukkan bahwa tanpa pengawasan dan penegakan regulasi yang kuat, tambang lebih sering meninggalkan luka daripada solusi.
Pemerintah daerah kerap kali berada dalam dilema antara pemasukan daerah dan keberlanjutan lingkungan. Sementara masyarakat adat, yang hidupnya bergantung dari laut dan hutan, harus menanggung risiko tanpa pernah ikut menentukan.
Pertanyaannya sekarang bukan cuma tentang apakah kita mendukung atau menolak tambang. Tapi, seberapa siap kita memahami dampaknya sampai ke akar hingga ke level partikel nikel yang masuk ke tubuh penyu atau terumbu karang.
Karena krisis ekologis hari ini tak selalu datang lewat gambar bencana yang dramatis. Kadang ia hadir diam-diam, lewat perubahan warna air, lewat ikan yang jarang kembali, atau lewat gangguan kesehatan yang tak kita sadari sumbernya.
Maka, ketika kita menyantap ikan laut atau melihat penyu berenang dalam dokumenter alam, barangkali ini saatnya bertanya, apakah mereka masih hidup di laut yang bersih, atau hanya bertahan di laut yang sedang perlahan mati?
Konservasi tidak bisa lagi dipisahkan dari pengawasan terhadap industri. Dan narasi keindahan alam seperti Raja Ampat harus dibarengi dengan kesadaran bahwa ada racun yang bergerak pelan, tapi pasti. Karena hari ini, polusi tidak lagi berbentuk asap. Ia bisa menyusup lewat sisik, lewat insang, lewat telur penyu yang tak menetas.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Budaya Cicil Bahagia: Ketika Gen Z Menaruh Harapan pada PayLater
-
Saat Buku Tak Bisa Dibaca: Akses Literasi yang Masih Abai pada Disabilitas
-
Cultural Tokenism di Dunia Hiburan: Representasi atau Sekadar Simbolik?
-
Dosen di Era Digital: Antara Pendidik dan Influencer
-
Di Balik Dinding Akademik: Kampus dan Luka yang Tak Terlihat
Artikel Terkait
-
Ayu Anjani Geram: IKN Dibangun, Komodo Terganggu, Kini Raja Ampat Harus Tercemar Limbah Nikel?
-
Surga Terancam? Tambang Nikel Gemparkan Raja Ampat, Nadine Chandrawinata Angkat Bicara!
-
5 Tambang yang Miliki Izin di Raja Ampat, Ada yang Terbit Era SBY dan Jokowi
-
Cadangan Nikel Indonesia Antara Ambisi Kendaraan Listrik dan Ancaman Lingkungan di Raja Ampat
-
Ogah Pusing, TNI soal Kabar Prajurit Bekingi Tambang Ilegal di Papua: Laporkan jika Ada Bukti!
Rona
-
Kutukan Tambang Nikel? Keuntungan Ekonomi Melambung, Kerusakan Lingkungan Menggunung
-
Eco-Friendly Lifestyle: Hidup Sehat dengan Peduli Sampah Elektronik
-
Mangrove Tak Goyah: Tangguh Menahan Badai, Tahan Jejak Karbon
-
Tanam Pohon Serentak, Geopark Kaldera Toba Siap Dinilai UNESCO
-
Terobosan RIPE: Rekayasa Genetika Selamatkan Ketahanan Pangan dari Krisis Iklim?
Terkini
-
Debut 23 Juni, THEBLACKLABEL Perkenalkan Member Grup Co-ed ALLDAY PROJECT
-
Review Film Love and Leashes, Eksperimen Cinta yang Unik di Dunia Kerja
-
Rilis Teaser, Film The Lost Bus Suguhkan Aksi Penyelamatan yang Dramatis
-
BOYS II PLANET Mulai Produksi, Simak Format Debut dan Tanggal Tayangnya
-
Doyoung NCT Mengenang Indah di Lagu Comeback Solo Terbaru Bertajuk Memory