Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ridho Hardisk
Ilustrasi aktivitas digital berdampak pada lingkungan (freepik.com)

Kita sering merasa aman di balik layar. Dunia maya seperti ruang steril yang tak menimbulkan jejak. Tak ada asap, tak ada limbah kasatmata, tak ada suara mesin atau dentuman alat berat. Tapi benarkah kita sedang “ramah lingkungan” hanya karena tak menggunakan kertas, kendaraan, atau bahan bakar fosil? Kenyataannya tidak sesederhana itu.

Setiap detik kita membuka email, menonton YouTube, atau menyimpan file ke cloud, kita sedang menyalakan server di belahan dunia lain yaitu server yang tak pernah tidur, tak pernah benar-benar mati, dan haus akan energi.

Di balik layar ponsel kita, ada puluhan ribu pusat data raksasa yang mendengung siang malam, mengonsumsi listrik dalam jumlah fantastis, demi menyimpan semua kenangan digital yang kita unggah.

Ironisnya, ini bukan sekadar teori. Jejak karbon digital itu nyata. Menurut laporan International Energy Agency, konsumsi listrik global dari pusat data dan jaringan komunikasi menyumbang sekitar 2–3% emisi karbon dunia. Ini adalah angka yang diam-diam menyamai industri penerbangan komersial.

Bayangkan, hanya untuk mengalirkan video TikTok atau Netflix selama satu jam, emisi yang dikeluarkan bisa menyamai empat cangkir kopi yang direbus. Kalau ditotal dari jutaan pengguna? Kita sedang menyaksikan bumi yang perlahan terbakar, satu pixel demi satu pixel.

Yang semakin membuat kita merasa khawatir, sebenarnya industri ini bukan sedang mengalami penurunan. Justru, penggunaan kecerdasan buatan dan model-model besar seperti ChatGPT atau Gemini sebenarnya mendorong kebutuhan daya komputasi ke level yang sangat tinggi.

Bayangkan saja, melatih satu model AI besar saja bisa menghasilkan emisi karbon yang setara dengan ratusan penerbangan internasional.

Dan itu baru satu sisi saja. Kita belum bicara tentang tren-tren baru yang sedang berkembang pesat, seperti video resolusi 4K yang luar biasa jernih, siaran langsung (livestream) selama 24 jam nonstop, serta penyimpanan data di cloud yang seolah tak pernah ada batasnya.

Semuanya ini secara tidak langsung memperparah konsumsi energi di dunia digital, membuatnya semakin tak terkendali dan sulit dikendalikan. Jadi, di balik kemajuan teknologi ini, tampaknya ada ancaman lingkungan yang semakin nyata yang harus kita hadapi bersama.

Tentu saja, para raksasa teknologi mencoba meredam. Google dan Microsoft ramai-ramai mengumumkan langkah menuju netral karbon. Tapi netral bukan berarti bersih. Masih banyak data center yang berjalan dengan listrik berbasis batu bara, terutama di Asia dan Afrika.

Dan selagi itu terjadi, kita pengguna akhir nyaris tak pernah merasa punya tanggung jawab. Kita pikir semua ini tak terlihat. Tapi bumi tetap mencatat.

Beberapa negara mulai bereaksi. Inggris dan Uni Eropa sedang menggagas regulasi untuk memaksa industri digital transparan terhadap jejak karbon mereka. Tapi regulasi saja tidak cukup.

Selama kita masih terbiasa menyetel video dengan resolusi tertinggi padahal nonton cuma sambil nyambi makan, selama kita masih lupa bahwa satu foto di cloud artinya satu file harus dijaga agar tetap menyala 24/7. Kita belum benar-benar sadar.

Di titik ini, kita perlu mengakui satu hal penting. Tidak ada teknologi yang benar-benar netral. Bahkan internet pun punya biaya lingkungan. Kita hanya harus memutuskan apakah biaya itu layak dibayar? Barangkali saatnya kita jadi pengguna digital yang lebih sadar.

Turunkan resolusi video kalau tak butuh. Matikan autoplay. Hapus file yang sudah tak terpakai. Dan mulai bertanya pada diri sendiri, apakah jejak digital kita benar-benar layak untuk terus disimpan, jika harus dibayar dengan suhu bumi yang terus naik?

Karena tak semua racun itu berbentuk asap. Ada juga yang datang lewat cahaya biru, tanpa bau, tanpa suara, dan tanpa pernah kita sadari.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ridho Hardisk