Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Ilustrasi hutan mangrove (Pexels/WeeraDanwilai)

Bayangkan jika Hulk dan Doraemon disatukan dalam satu makhluk: kuat, pintar, dan siap menolong kapan saja. Nah, kira-kira seperti itulah mangrove bagi planet ini. Ia berdiri gagah di garis pantai, menantang ombak dan badai yang datang bertubi-tubi, sembari menyimpan karbon seperti celengan raksasa untuk anak cucu manusia.

Tapi seperti kebanyakan pahlawan dalam cerita, perannya sering diabaikan, bahkan oleh para pengambil kebijakan yang lebih sibuk debat soal warna seragam sekolah ketimbang nasib bumi.

Mangrove bukan cuma semak-semak laut yang fotogenik untuk feed Instagram. Ia adalah sistem pertahanan alam yang bisa menekan risiko banjir, mengurangi erosi, bahkan menyelamatkan manusia dari amukan iklim.

Menurut Sunkur et al. (2023), mangrove memainkan peran vital dalam adaptasi terhadap perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana. Tapi, kenyataan pahitnya: hutan mangrove lebih sering ditebang untuk vila-vila mewah, tambak udang dadakan, atau sekadar demi segenggam keuntungan jangka pendek.

Padahal, banyak studi menunjukkan bahwa ketangguhan mangrove melampaui ekspektasi. Ia tetap berdiri, meski diterjang badai, jika kondisi lokal mendukung. Tapi jangan salah—bahkan sang raksasa hijau ini bisa tumbang jika terus-terusan ditekan oleh pembangunan tak ramah lingkungan.

Lebih dari Sekadar Penahan Ombak

Mangrove ibarat penjaga pantai yang sabar di gerbang pantai: diam, tapi sigap ketika badai menerjang. Kemampuannya menyerap energi gelombang laut menjadikannya pelindung alami dari abrasi dan banjir.

Sunkur et al. (2023) menekankan bahwa mangrove merupakan solusi berbasis alam yang efektif untuk adaptasi iklim. Tapi ironisnya, ia diperlakukan seperti ban serep: baru dicari saat krisis datang.

Mangrove juga punya kekuatan menyerap karbon yang luar biasa. Tanahnya yang kaya akan materi organik menyimpan karbon hingga empat kali lebih banyak dibandingkan hutan hujan tropis.

Jadi, kalau Elon Musk sibuk mencari solusi penyimpanan karbon di Mars, mungkin dia perlu jalan-jalan ke Taman Nasional mangrove terdekat. Bukan hanya lebih murah, tapi juga sudah terbukti manjur.

Namun, kekuatan ini punya batas. Ketika tekanan manusia meningkat—dari reklamasi pantai hingga konversi lahan—mangrove mulai kehilangan tajinya. Celakanya, data sering kalah oleh wacana pembangunan yang lebih gemuk anggarannya. Kalau pembangunan itu nasi goreng, mangrove cuma jadi kerupuk: pelengkap yang gampang diabaikan.

Untuk menjadikan mangrove sebagai bagian dari kebijakan nasional yang serius, kita butuh pendekatan lintas sektor. Bukan hanya KLHK atau dinas kelautan yang pusing sendiri, tapi sinergi nyata yang tidak hanya hadir dalam dokumen perencanaan lima tahunan yang penuh jargon dan minim aksi.

Ketahanan yang Bergantung pada Lokalitas

Mangrove memang tangguh, tapi bukan Superman. Ketahanannya sangat dipengaruhi oleh kondisi lokal. Ding et al. (2024) menunjukkan bahwa struktur hutan sebelum badai, stok karbon tanah, dan tingkat pembangunan pesisir sangat menentukan bagaimana mangrove akan pulih pasca-bencana.

Jadi jangan harap hutan bakau di pesisir yang sudah dipapas untuk resort bisa sekuat hutan bakau yang dijaga masyarakat adat.

Ketika badai datang, dua hutan bakau bisa menunjukkan respons yang sangat berbeda. Yang satu bisa bangkit kembali dalam hitungan tahun, sementara yang lain butuh dekade—atau malah tidak pernah pulih. Hal ini mirip seperti dua mahasiswa yang ikut ujian: satu belajar semalaman, satu lagi rebahan sambil scroll TikTok. Hasilnya? Tebak sendiri.

Sayangnya, perencanaan pembangunan di wilayah pesisir sering mengabaikan kondisi ekologis lokal. Lahan basah dianggap tanah kosong, dan mangrove dipandang sebagai penghalang investasi. Akhirnya, keputusan politik yang lebih berpihak pada modal ketimbang pada sains membuat banyak kawasan mangrove rentan disingkirkan.

Solusinya? Integrasi data ekologi dalam rencana tata ruang wilayah pesisir harus jadi syarat mutlak, bukan sekadar lampiran. Sudah saatnya Bappeda dan Dinas Pertanahan bicara serius dengan ahli ekologi, bukan hanya kontraktor.

Mangrove, sang Ahli Biokimia yang Diam-Diam Canggih

Tak banyak yang tahu bahwa mangrove bukan hanya pahlawan fisik, tapi juga jagoan molekuler. Zhou et al. (2024) menemukan bahwa mangrove memiliki respons genetik dan metabolik yang kompleks terhadap stres lingkungan, seperti genangan air asin dan kekurangan oksigen. Mereka bisa memodulasi ekspresi gen untuk bertahan, seperti tanaman yang bisa "bernapas" dalam kondisi ekstrem.

Adaptasi ini sangat spesifik antarspesies. Ada mangrove yang bisa menahan salinitas tinggi, ada yang jago bertahan dalam tanah lumpur pekat.

Jadi jangan heran kalau mangrove di Papua punya strategi bertahan hidup yang berbeda dari yang tumbuh di pesisir Jawa. Mereka seperti Avengers: punya kekuatan masing-masing, asal jangan dipecah belah karena ego sektoral.

Pemahaman terhadap respons biologis ini penting, karena bisa menjadi dasar dalam upaya restorasi berbasis jenis lokal. Jangan sampai proyek penanaman mangrove sekadar jadi kegiatan seremonial untuk memuaskan fotografer kantor, tanpa melihat apakah spesies yang ditanam cocok dengan karakter tanah dan salinitas setempat.

Sama seperti memilih pasangan hidup, menanam mangrove pun harus cocok-cocokan. Jangan asal tanam, lalu ditinggal. Itu bukan restorasi, itu PHP ekologi.

Teknologi, Harapan Baru atau Basa-basi Digital?

Teknologi kini memungkinkan kita untuk memantau mangrove dari angkasa. Liu et al. (2024) menyoroti pentingnya penggunaan penginderaan jauh dan sistem pemantauan berbasis satelit untuk melihat perubahan struktur hutan, stok karbon, dan kesehatan ekosistem secara real time. Tapi sayangnya, data satelit sering berakhir sebagai presentasi PowerPoint, bukan kebijakan konkret.

Padahal, teknologi ini bisa digunakan untuk menetapkan zona konservasi yang lebih presisi, memantau ancaman deforestasi dini, dan bahkan mengembangkan sistem peringatan dini untuk badai. Bayangkan kalau semua data ini dipakai oleh pemerintah daerah secara aktif, bukan hanya sekadar memenuhi laporan tahunan. Bisa jadi revolusi pengelolaan pesisir.

Namun, teknologi juga sering kali diperlakukan seperti pajangan: mahal, canggih, tapi tak pernah dipakai maksimal. Padahal, harga satelit yang mahal itu tak sebanding dengan nilai ekosistem yang hilang jika mangrove musnah. Ibarat beli treadmill mahal tapi tetap duduk sambil ngemil: mubazir.

Kita butuh tidak hanya teknologi, tapi juga kapasitas institusi dan SDM untuk mengolah dan menerapkan data itu. Tanpa itu, teknologi hanyalah mainan elit yang jauh dari akar masalah di lapangan.

Mangrove Butuh Lebih dari Sekadar Pujian

Mangrove bukan makhluk mitos yang bisa bertahan tanpa bantuan. Ia butuh perlindungan nyata, bukan hanya apresiasi musiman. Ketangguhannya memang luar biasa, tapi bukan tak terbatas. Jika kita terus menebangnya demi ekspansi atau membiarkannya rusak karena kelalaian, maka kita sedang mempercepat krisis yang kita sendiri ciptakan.

Seperti kata Sparkle Malone dari Yale (2025), hutan mangrove punya kapasitas menyerap kembali karbon yang hilang akibat badai. Tapi mereka juga butuh waktu dan ruang untuk pulih. Jangan paksa mereka jadi pahlawan super yang terus dipaksa kerja tanpa libur dan tanpa gaji.

Kini, saat perubahan iklim makin nyata dan bencana makin rutin mampir ke kalender kita, sudah waktunya kebijakan kita mengakui peran sentral mangrove secara konkret. Bukan hanya masuk dalam naskah pidato atau video kampanye, tapi juga dalam anggaran, perencanaan, dan perlindungan hukum.

Dan buat kita semua: mari hentikan kebiasaan foto tanam bibit mangrove lalu pulang tanpa tanggung jawab. Restorasi bukan ajang selfie, tapi komitmen jangka panjang.

Kalau kita ingin planet ini tetap punya garis pantai yang indah dan aman, maka saatnya kita berhenti menganggap mangrove sebagai hiasan. Ia adalah penyelamat yang tak pernah minta pamrih, tapi sangat pantas diberi prioritas.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yudi Wili Tama