Bimo Aria Fundrika
Ilustrasi Peneliti Perempuan (Pixabay/Jarmoluk)

Laboratorium bioteknologi SMEY berhasil menciptakan minyak dan mentega hanya dalam waktu 30 hari, jauh lebih cepat dibanding rantai pasok tradisional kelapa sawit, mentega kakao, dan minyak shea yang biasanya memakan waktu 18 hingga 24 bulan.

Terobosan ini hadir di tengah kekhawatiran konsumen terhadap rantai pasok yang sering kali tidak transparan dan sarat praktik tidak etis. Di sisi lain, permintaan terhadap produk yang lebih ramah lingkungan terus meningkat.

Mulai Desember 2025, Uni Eropa akan memberlakukan aturan baru mengenai deforestasi. Perusahaan yang masih mengimpor produk tanpa memperhatikan aturan ini berisiko didenda hingga 4 persen dari omzet penjualan global.

Aturan ketat tersebut mendorong perusahaan mencari alternatif bahan baku yang lebih berkelanjutan dan dapat dilacak asal-usulnya.

Berbasis di Paris, SMEY menjadi perusahaan pertama yang mengembangkan minyak sawit, mentega kakao, dan minyak shea buatan laboratorium dengan bantuan kecerdasan buatan.

“ Kami tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimia yang menimbulkan ancaman bagi ekosistem, serta produk kami terhindar dari masalah ketenagakerjaan yang terkait dengan pemanenan tradisional,” ujar Mazodier, Profesor Pemasaran di ESSEC Business School.

SMEY memanfaatkan lebih dari 1.000 strain ragi dalam Neobank of Yeasts (NOY) untuk menghasilkan minyak melalui proses fermentasi.

“ Pendekatan kami menggabungkan fermentasi dengan kekuatan mesin dalam satu sistem. SMEY bekerja dengan ragi non-GMO dari alam untuk menghasilkan minyak dengan komposisi lemak sesuai kebutuhan konsumen,” kata Viktor Sarkatov-Korzhov, pendiri SMEY.

Analisis metabolik dan genomik memungkinkan mereka memilih strain terbaik yang dapat menghasilkan asam lemak, tekstur, dan stabilitas sesuai kebutuhan pasar.

Masalah di Balik Minyak Nabati Tradisional

Di balik produk yang dianggap alami, perkebunan sawit dan kakao tetap menyimpan jejak kerusakan ekosistem. Hutan hujan tropis di Indonesia dan Malaysia terus tergerus, habitat satwa endemik seperti orang utan, gajah, dan harimau makin terancam. Produksi dalam skala besar juga membutuhkan pupuk dan air berlebih yang menimbulkan erosi tanah serta pencemaran air.

Masalah sosial ikut membayangi, mulai dari konflik lahan, pekerja anak, hingga praktik kerja paksa. Sementara itu, pembukaan lahan dengan membakar hutan melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar yang mempercepat perubahan iklim.

Untuk saat ini, SMEY berfokus pada industri kosmetik dan farmasi lewat produk Noyl Silk. Namun mereka juga menyiapkan ekspansi ke pasar pelumas, oleokimia, dan pangan melalui produk seperti Noyl Cocoa.

“ Tujuan kami bukan menggantikan produk yang sudah ada, melainkan menambah nilai dan ketahanan pada produk kami di sektor kosmetik dan farmasi,” ujar Viktor.

Target awal SMEY adalah pasar Amerika Utara dan Eropa, sebelum memperluas jangkauan ke seluruh dunia melalui pusat produksi regional. Mulai Oktober 2025, SMEY bahkan berencana menyewakan basis data NOY agar perusahaan lain dapat mempercepat riset fermentasi.

Meski menjanjikan, minyak hasil laboratorium belum lepas dari kendala. Izin edar di Eropa bisa memakan waktu hingga tiga tahun. Produksinya juga masih bergantung pada pasokan gula dan karbon dari pertanian seperti tebu dan jagung. Jika pasokan terganggu, produksi ikut terhenti.

Ada pula pertanyaan tentang keberlanjutan jangka panjang. Tidak semua minyak sintetis mudah terurai, dan distribusi serta kemasan tetap menimbulkan dampak lingkungan.

“ Minyak laboratorium bisa membantu menstabilkan pasokan dan mengurangi risiko rantai pasok, tapi tetap menciptakan ketergantungan baru pada bahan baku, energi, dan infrastruktur. Jadi, ia lebih sebagai pelengkap, bukan pengganti penuh minyak pertanian dalam waktu dekat,” ujar Mazodier.

Penulis: Muhammad Ryan Sabiti