Sekar Anindyah Lamase | Irhaz Braga
Ilustrasi Media Sosial (Pixabay)
Irhaz Braga

Dalam satu dekade terakhir, media sosial telah menjelma menjadi ruang publik virtual yang menghadirkan peluang sekaligus persoalan baru dalam interaksi manusia. Kita memasuki era ketika nyaris setiap emosi, opini, dan pengalaman pribadi tumpah ke platform digital dengan intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Namun, di balik ramainya pertukaran informasi tersebut, muncul satu fenomena yang semakin mengkhawatirkan: perundungan (bullying) yang berlangsung secara terbuka di kolom komentar.

Ruang yang seharusnya menjadi kanal diskusi justru berubah menjadi arena ekspresi agresi, ejekan, dan kekerasan psikologis yang dilakukan secara massal.

Perundungan digital bukan hanya terjadi karena niat jahat individu, tetapi juga karena struktur interaksi di media sosial yang mempermudah anonimitas dan menghilangkan empati. Seseorang dapat berkomentar apa pun tanpa harus bertatap muka dengan orang yang disakiti.

Ketika konsekuensi sosial hilang, batas antara kritik, candaan, dan penghinaan menjadi kabur. Banyak pengguna merasa sah-sah saja menulis komentar pedas kepada orang yang tidak mereka kenal, seolah pengguna lain tidak memiliki perasaan atau kehidupan pribadi di luar layar.

Fenomena ini dipicu oleh budaya komentar yang semakin berkembang tanpa etika. Pengguna tidak lagi hanya menanggapi konten, tetapi menyasar hal-hal yang berada di luar konteks, seperti fisik pembuat konten, latar belakang ekonomi, pilihan hidup, maupun aspek-aspek personal yang tidak ditampilkan dalam materi unggahan.

Di kolom komentar, siapa pun bisa menjadi sasaran mulai dari kreator konten hingga pengguna biasa yang hanya kebetulan muncul dalam sebuah video.

Apa yang membuat perundungan digital semakin berbahaya adalah sifatnya yang publik dan berulang. Setiap komentar negatif dapat dibaca berkali-kali oleh orang

yang menjadi target, dan setiap balasan yang mendukung perundungan tersebut memperkuat luka psikologisnya. Dalam konteks ini, kolom komentar tidak hanya menjadi medium komunikasi, tetapi juga sebuah arena kekerasan simbolik yang terus-menerus memproduksi rasa takut, malu, dan terasing bagi korbannya.

Kolom Komentar: Ruang Diskusi yang Menjelma Menjadi Arena Perundungan

Kolom komentar secara ideal dirancang sebagai ruang dialog. Di sana, pengguna dapat mengajukan pertanyaan, berbagi pandangan, atau merespons isi konten secara konstruktif. Namun, realitas menunjukkan bahwa ruang tersebut kerap dimanfaatkan untuk menumpahkan opini di luar konteks tanpa memperhatikan tema unggahan.

Komentar-komentar seperti “jelek banget mukanya”, “modalnya cuma itu?”, atau “pantas saja hidupnya begitu”, "minimal mandi dulu", adalah contoh umum yang sering muncul tanpa relevansi dengan konten yang ditayangkan.

Fenomena komentar di luar konteks ini menandakan hilangnya orientasi terhadap substansi dan meningkatnya kecenderungan untuk menilai individu, bukan isi pesannya.

Media sosial yang semula dibangun untuk memperluas komunikasi antarmanusia, kini justru membuat banyak orang kehilangan kemampuan dasar untuk berdialog. Pengguna lebih sibuk memberikan penilaian instan daripada memahami konteks, lebih tertarik menyerang karakter daripada mendiskusikan gagasan.

Lebih jauh, pola interaksi yang berorientasi pada perundungan ini diperkuat oleh algoritma platform. Semakin kontroversial sebuah komentar, semakin besar kemungkinan komentar tersebut mendapat perhatian baik berupa like, balasan, maupun sorotan publik.

Algoritma memotivasi polaritas dan provokasi karena konten-konten tersebut terbukti meningkatkan keterlibatan pengguna. Dengan demikian, komentar bernada merendahkan menjadi bagian dari ekosistem yang terbentuk bukan hanya oleh perilaku individu, tetapi juga oleh desain sistem yang menguntungkan interaksi negatif.

Ketika komentar jahat mendapatkan perhatian dan interaksi lebih besar daripada komentar positif, terbentuklah normalisasi. Komentar yang melukai mulai dianggap lumrah dan akhirnya diterima sebagai “budaya internet”.

Padahal, di balik normalisasi tersebut, ada ribuan pengguna yang mungkin sedang berjuang melawan rasa rendah diri, kehilangan kepercayaan diri, atau bahkan mengalami tekanan mental berat akibat komentar-komentar yang mengarah pada perundungan.

Kita juga tidak boleh mengabaikan fenomena "efek kerumunan digital". Banyak pengguna yang mengikuti arus komentar negatif tanpa benar-benar memahami dampaknya, hanya demi merasa menjadi bagian dari kelompok.

Perundungan digital sering kali terjadi bukan karena semua orang berniat menyakiti, melainkan karena banyak orang tidak ingin menjadi berbeda dari mayoritas. Dalam kerumunan, empati melemah dan dehumanisasi meningkat. Orang yang menjadi target komentar berubah menjadi objek hiburan.

Membangun Ruang Digital yang Lebih Berempati: Sebuah Agenda Bersama

Melawan praktik perundungan di kolom komentar tidak bisa dilakukan hanya dengan aturan teknis atau sensor algoritmik. Upaya ini menuntut perubahan yang lebih mendasar: membangun budaya digital yang berlandaskan empati.

Kunci utama berada pada kesadaran bahwa di balik setiap akun terdapat manusia nyata dengan kehidupan yang tidak kita ketahui, perasaan yang tidak bisa kita ukur, serta beban yang tidak selalu tampak di permukaan.

Langkah pertama adalah menginternalisasi prinsip sederhana: tulislah komentar yang tidak akan membuatmu malu jika dibacakan keras-keras di ruang publik. Prinsip ini bukan sekadar aturan sopan santun, tetapi pengingat bahwa setiap kata memiliki daya untuk membangun atau meruntuhkan.

Mengedepankan empati berarti menyadari bahwa komentar negatif yang tampak kecil bagi kita bisa menjadi pukulan berat bagi orang lain.

Selain itu, perlu ada dorongan kolektif untuk menghentikan rantai perundungan. Ketika melihat komentar yang tidak relevan dan mengarah pada penghinaan, pengguna lain dapat menegur dengan cara yang sopan atau melaporkan komentar tersebut.

Tindakan sederhana ini dapat menghalangi penyebaran ujaran yang merendahkan dan memberikan sinyal bahwa komunitas tidak membenarkan perilaku tersebut. Respons kolektif penting untuk memutus asumsi bahwa perundungan digital adalah sesuatu yang lumrah.

Platform media sosial juga memiliki tanggung jawab moral dan struktural. Moderasi komentar yang lebih ketat, fitur penyaringan kata kunci, serta edukasi publik melalui kampanye anti-perundungan dapat membantu membentuk ruang digital yang lebih sehat. Namun, upaya itu hanya efektif jika pengguna turut serta memperkuatnya dalam praktik sehari-hari.

Pada akhirnya, membangun ruang digital yang aman bukan sekadar agenda perlindungan pengguna, tetapi juga upaya menjaga martabat manusia. Kebebasan berekspresi tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi kebebasan menyakiti.

Kolom komentar seharusnya menjadi tempat pertukaran gagasan, bukan ladang perundungan. Dengan menanamkan empati dan etika dalam setiap interaksi, kita tidak hanya melindungi orang lain, tetapi juga membangun ekosistem digital yang lebih manusiawi bagi semua.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS