Bimo Aria Fundrika
Ilustrasi sampah organik dan kompos (pixabay.com)

Persoalan sampah masih terus menghantui Indonesia. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) mencatat timbulan sampah sepanjang 2024 mencapai 27,74 juta ton atau rata-rata 76 ribu ton per hari.

Dari angka itu, hampir 40 persen berasal dari sampah makanan, mayoritas berakhir menumpuk di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).

Ironisnya, dari 521 TPA yang ada, 343 di antaranya masih menggunakan sistem open dumping—metode pembuangan terbuka yang rawan longsor. Publik tentu masih mengingat tragedi TPA Leuwigajah, Cimahi, pada 2005, ketika gunungan sampah longsor menewaskan lebih dari 150 orang. Dua dekade berlalu, ancaman serupa tetap menggantung di banyak kota.

Ilustrasi sampah rumah tangga / sampah dapur / sampah organik

Menjawab situasi ini, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menggulirkan kebijakan strategis: pemanfaatan sampah organik menjadi pupuk organik dan pembenah tanah. Program ini ditargetkan mampu mengolah 100 persen sampah organik pada 2029, sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

“Langkah ini tidak hanya meningkatkan kualitas lingkungan, tetapi juga mendorong budaya bersih di masyarakat sekaligus memperkuat layanan publik yang berorientasi keberlanjutan,” ujar Staf Ahli Menteri KLH, Noer Adi Wardojo, Senin (9/9/2025).

Menurut KLH/BPLH, pengolahan sampah organik ini akan membuka jalan menuju ekonomi sirkular. Rantai pengelolaan dimulai dari pemilahan di rumah tangga, pengumpulan terpilah, pemrosesan dengan teknologi, hingga distribusi pupuk hasil olahan. Targetnya bukan hanya lingkungan lebih bersih, tetapi juga ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.

Riset internal kementerian menyebut, jika 40 persen sampah makanan bisa diolah, hasilnya setara jutaan ton pupuk organik per tahun. Angka ini dapat menekan ketergantungan pada pupuk kimia, memperbaiki kualitas tanah, sekaligus memulihkan lahan kritis yang kini makin meluas akibat eksploitasi.

Konsultasi pertama dengan pemangku kepentingan digelar 22 Agustus 2025. Mayoritas peserta, dari pemerintah daerah, NGO, hingga komunitas petani, menyatakan dukungan. Pertemuan lanjutan dijadwalkan pada pertengahan September, sebelum kebijakan resmi diterbitkan Oktober mendatang. Publik juga dipersilakan menyampaikan masukan ke alamat email resmi wastecrisiscenter.klh@gmail.com.

Namun, tantangan besar tetap ada. Sistem pengelolaan sampah di Indonesia masih rapuh, kesadaran pemilahan rendah, dan infrastruktur daur ulang terbatas. Tanpa kolaborasi lintas pihak, program ini bisa berhenti sebatas jargon.

Meski begitu, jika berjalan sesuai target, kebijakan ini bisa mengubah wajah krisis: dari ancaman longsor TPA menjadi amunisi pangan dan bioekonomi. Pertanyaannya, mampukah Indonesia mewujudkannya sebelum gunungan sampah kembali memakan korban?

Penulis: Muhammad Ryan Sabiti