Bimo Aria Fundrika
Ilustrasi tambang, pertambangan. [Envato Elements]

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang diperbarui melalui UU Nomor 1 Tahun 2014 sudah jelas melarang praktik pertambangan di pulau kecil.

Wilayah semacam ini seharusnya hanya digunakan untuk aktivitas non-ekstraktif seperti pariwisata, penelitian, dan budi daya. Namun dalam praktiknya, aturan itu sering diabaikan.

Guru Besar FPIK IPB University, Prof Yonvitner, mengingatkan bahwa membuka tambang di kawasan pesisir dan pulau kecil berisiko merusak ekosistem yang rapuh, mulai dari terumbu karang hingga mangrove. Ekosistem pesisir tidak bisa berpindah, sehingga pencemaran dan sedimentasi akibat tambang pasti berdampak langsung.

Contoh paling nyata bisa dilihat di Bangka Belitung. Alih-alih menyejahterakan, tambang justru menimbulkan masalah sosial baru.

pIlustrasi tambang (freepik)rofil pt imip (Freepik)

Warga yang merasa tidak mendapat manfaat akhirnya ikut menambang, sehingga kerusakan lingkungan semakin parah. Meski reklamasi bisa memulihkan ekologi dalam tiga hingga lima tahun, keadilan sosial bagi warga yang kehilangan mata pencaharian dari sumber daya terbarukan tidak otomatis kembali.

Prof Yonvitner menilai ekonomi pesisir seharusnya diarahkan pada sektor berkelanjutan seperti wisata bahari, sport fishing, hingga hilirisasi produk lokal seperti kelapa dan rumput laut. Sektor ini jarang dibicarakan, padahal bisa memberi manfaat jangka panjang dan lebih adil bagi masyarakat.

Ia juga menekankan pentingnya pengawasan terpadu dengan melibatkan KKP, TNI AL, dan lembaga lain agar regulasi benar-benar ditegakkan.

Membuka tambang mungkin menambah pemasukan negara dalam jangka pendek, tetapi yang dipertaruhkan adalah masa depan masyarakat dan generasi mendatang. Pertanyaannya, apakah pemerintah berani memastikan manfaatnya benar-benar dirasakan rakyat, atau hanya berhenti di kas negara?

Penulis: Muhammad Ryan Sabiti