Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Renata
Ribuan umat Hindu DKI Jakarta menggelar pawai ogoh ogoh di kawasan Monumen Nasional (Monas) Jakarta, Jumat (20/3).

Bali merupakan kota yang dapat dibilang menjadi muka negara Indonesia khususnya di bidang pariwisata untuk dunia Internasional. Menjunjung tinggi kebudayaan lokal, Bali menarik banyak wisatawan dengan menjual berbagai tradisi-tradisi lokal dan tradisi keagamaan. Salah satunya adalah perayaan hari raya Nyepi.

Perayaan hari raya Nyepi tentu saja tidak asing ditelinga masyarakat di Indonesia khususnya yang beragama Hindu dikarenakan Perayaan Nyepi merupakan perayaan memperingati tahun baru Saka. Hari raya Nyepi juga identik dengan perayaan yang dilakukan dengan kondisi yang tenang dan damai dan juga tanpa adanya aliran listrik. Namun masih banyak yang tidak tahu bahwa menjelang perayaan hari raya Nyepi, terdapat perayaan Ogoh-Ogoh yang menghiasi.

Apa itu Ogoh-ogoh?

Ogoh-Ogoh merupakan perayaan yang digambarkan dengan patung raksasa sebagai simbol yang mempunyai sifat buruk dan kejahatan pada kehidupan manusia. Ogoh-ogoh sendiri pada tata cara Bali melambangkan Bhuta Kala yang berdasarkan ajaran hindu sebagai simbol kehancuran atau hal buruk yang dipercaya dapat mengganggu kehidupan manusia. Patung-patung tersebut juga dibuat menggunakan bahan yang sangat mudah terbakar.

Pada malam hari menjelang perayaan hari raya Nyepi, patung-patung tersebut dibakar sebagai tanda mengusir atau membersihkan dari keburukan atau kehancuran tersebut. Upacara Ogoh-ogoh sendiri tidak hanya dilakukan di Bali, tapi juga di beberapa tempat lain yang dimana mayoritas umatnya beragama Hindu. Selain digunakan sebagai ritual yang sakral, tradisi Ogoh-Ogoh juga sebagai wadah untuk masyarakat khususnya kalangan generasi muda untuk menyalurkan ide serta kreativitas melalui pembuatan patung Ogoh-Ogoh.

Proses pembuatan patung Ogoh-ogoh sendiri dapat memakan waktu hingga 1 bulan lamanya. Proses ini juga dinilai sangat berkontribusi dalam mempererat ikatan antar warga masyarakat dikarenakan proses pembuatannya membutuhkan tenaga lebih dari 1 orang. Kemudian setelah patung tersebut jadi, patung tersebut akan diangkat bersama-sama dalam menghadiri tradisi pawai Ogoh-ogoh yang dimana patung tersebut sangatlah berat dan diperlukan 2-4 orang untuk mengangkat patung Ogoh-ogoh. Hal ini yang menimbulkan sikap kerjasama dan gotong royong antar warga agar perayaan tersebut berhasil dijalankan.[1]

Perkembangan tradisi Ogoh-ogoh saat ini.

Ogoh-ogoh merupakan salah satu unsur budaya yang dinilai berkontribusi besar dalam meningkatkan pariwisata Kota Denpasar. Tradisi Ogoh-ogoh memenuhi kriteria pokok budaya unggulan yang meliputi a) memiliki sifat khas, beridentitas dan bermutu tinggi; b) kokoh dalam basis sumber daya manusia, komunitas, dan kelembagaan; c) beretos kreatif dan mendifusikan kreativitas; d) bernilai tambah secara ekonomi, teknologi, ekologi, dan kultural; dan e) terbuka dalam adaptasi lokal, nasional, internasional dan menjadi kebanggaan serta memperoleh apresiasi publik.[2]

Kota Denpasar sebagai kota berwawasan budaya menyebabkan banyak penyelenggaraan berbagai event di Bali yang salah satunya adalah atraksi pawai Ogoh-ogoh. Inspirasi pelaksanaan parade ini bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik akibat adanya benturan antar kelompok pengusung Ogoh-ogoh.

Pada 3 tahun pertama, parade Ogoh-ogoh dilaksanakan dalam rangka memperingati HUT Kota Denpasar setiap tanggal 27 Februari dan juga pada perayaan Nyepi pada bulan Maret.

Maka dari itu, sejak tahun 2008 pemerintah kota Denpasar mulai menyelenggarakan lomba dan parade Ogoh-ogoh dalam rangka memperingati Hari Raya Nyepi yang diselenggarakan pada kawasan Catur Muka Kota Denpasar dan daerah Sanur.[3] Hal ini menyebabkan setiap penyelenggaraan parade ini, angka wisatawan asing akan meningkat drastis.

Adanya hal ini juga berkontribusi besar pada pengembangan industri kreatif dan juga memberikan peluang untuk industri rumahan untuk meningkat seperti contoh meningkatkanya penghasilan rumahan seperti makanan dan minuman menjelang perayaaan Hari Raya Nyepi maupun hingga pelaksanaan parade Ogoh-ogoh.

Hingga saat ini, tradisi Ogoh-ogoh tidak hanya ditampilkan menjelang Hari Raya Nyepi, namun juga diselenggarakan pada acara-acara besar lainnya di Bali yang meliputi pawai pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-32 tahun 2010 dan pawai pembukaan Denpasar Festival tahun 2014.

Nilai Pancasila yang ada dalam tradisi Ogoh-ogoh.

Pancasila merupakan ideologi negara Indonesia yang menjadi pedoman untuk masyarakat Indonesia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Nilai Pancasila yg terkandung dalam tradisi Ogoh-Ogoh waktu Hari Raya Nyepi merupakan sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia. Makna berdasarkan sila ketiga yang dilambangkan dengan pohon beringin ini, mempunyai arti menjadi tempat berteduh sebagaimana digambarkan menggunakan akar yang menjulur ke bawah.

Tempat berteduh yang dimaksud ditujukan menjadi tempat dimana warga bisa merasa aman yang selaras dengan hal itu dimana Pancasila menjadi dasar negara berfungsi menjadi tempat para masyarakat Indonesia untuk berlindung. Pohon beringin mempunyai akar yang kuat yang dimana mendeskripsikan persatuan Indonesia serta akar-akar yang ada pada pohon mendeskripsikan keberagaman suku, keturunan, agama & perbedaan lainnya di tengah rakyat Indonesia. Sehingga sila ini melambangkan persatuan bangsa diatas keberagaman serta perbedaan yg terdapat pada Indonesia.

Referensi:

  • [1] Dian Karina Rachmawati, Kearifan Lokal dalam Leksikon Ritual Kesenian Ogoh-Ogoh di Pura Kerthabumi Dusun Bongso Wetan Desa Pengalangan Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik-Jawa Timur, Journal of Linguistics and Education, Vol. 5, No.2, (Universitas Muhammadiyah Surabaya, Sep. 2017)
  •  
    [2] Geriya, IW., Murjanayasa, I GW., Suputra, P.M., Sukardja, P., Sutriawan, K.M., Mardika, IN., Astrawan, IM., Kebudayaan Unggul Inventori Unsur Unggulan sebagai Basis Kota Denpasar Kreatif, Denpasar, 2010.
  •  
    [3] Tempo.co., 4.035 Ogoh-ogoh Semarakkan Malam Nyepi Di Bali, https://nasional.tempo.co/read/118529/4-035-ogoh-ogoh-semarakkan-malam-nyepi-di-bali, Maret 2008.

Renata

Baca Juga