Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Novan Harya Salaka
Buku Anak Bajang Menggiring Angin (DocPribadi/Novan)

Kalahnya moralitas manusia melawan godaan hawa nafsu menjadi akar segala malapetaka. Mengadaptasi cerita legendaris Ramayana, Anak Bajang Menggiring Angin berhasil membawakan nilai-nilai kemanusiaan dengan epic. Anak Bajang Menggiring Angin adalah buku yang ditulis oleh Sindhunata. Terbit pertama kali pada 1983 dan sudah cetak ulang hingga 10 kali.

Kisah epik dalam buku Anak Bajang Menggiring Angin ini diawali dengan cerita Prabu Danareja yang kasmaran dengan Sukesi, putri raja kerajaan Alengka. Begawan Wisrawa, ayah Danareja yang mengetahui isi hati anaknya kemudian berangkat ke Alengka untuk melamar Sukesi. Sayang, perjalanannya harus berakhir petaka karena tak sanggup memenuhi syarat dari Sukesi.

Sukesi telah mensyaratkan kepada siapapun yang hendak melamarnya untuk menerjemahkan pengetahuan sejati Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, pengetahuan yang konon dapat menjungkirbalikkan tatanan jagat raya. Tanpa mereka sadari, hati keduanya ternyata masih dijangkiti nafsu, mereka pun gagal. Kegagalan inilah yang pada akhirnya melahirkan tiga raksasa sakti, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan sang angkara murka Rahwana.

Secara bergiliran, tokoh-tokoh kunci dalam kisah Anak Bajang Menggiring Angin mulai diperkenalkan. Semua memiliki kebijaksanaan, aib, dan dosanya masing-masing. Pergulatan abadi antara nurani melawan hawa nafsu para tokoh pewayangan menjadi garis besar dalam keseluruhan kisah ini. Akan tetapi, buku karya Sindhunata ini tetap mampu memberikan porsi yang cukup untuk aspek lain secara proporsional.

Nilai bakti kepada ibu, misalnya, direpresentasikan dengan baik melalui kisah Kumbakarna yang hendak berangkat berperang. Menjelang babak akhir, sang raksasa sebesar gunung yang sangat sakti itu diceritakan hendak berangkat berperang melawan pasukan Rama. Akan tetapi, Kumbakarna adalah raksasa yang ketika lahir, memiliki wujud kuping (telinga), perlambang kebijaksanaan. Ukuran badan dan kekuatan yang dimilikinya tak kemudian membuatnya sombong. Ia masih menyempatkan diri meminta restu dan doa dari ibunya, Sukesi.

Nuansa angker sekaligus mewah berhasil dibangun melalui penggunaan gaya bahasa yang konsisten dari awal hingga akhir karya sastra Anak Bajang Menggiring Angin ini. Pembaca dipaksa untuk mengerahkan daya imajinasinya dan merasakan emosi tokoh dalam tiap-tiap paragraf dan halamannya. Hebatnya, meskipun menggunakan bahasa yang khas, ia tidak kehilangan arah untuk menceritakan (kembali) kisah paling fenomenal dalam jagad pewayangan tersebut.

Secara esensial, tak ada perubahan cerita Ramayana yang disajikan dalam buku Anak Bajang Menggiring Angin ini. Anoman si kera putih berhasil menaklukkan Rahwana dengan ajian terkuat bernama Aji Wundri yang konon sanggup menyamai kekuatan cinta tulus seorang ibu kepada anaknya. Ia seolah menjadi tokoh utama dalam cerita Ramayana versi Sindhunata ini. Kesaktian tak terkalahkan Rahwana, ternyata hanya bisa dilawan dengan ajian yang bersumber dari kasih sayang dan cinta.

Akhir cerita, Shinta yang disandera oleh Rahwana berhasil diambil kembali oleh Rama. Sayangnya–setelah semua pertempuran sengit dengan para raksasa, hati Rama malah diselimuti keraguan. Ia tidak yakin bila Shinta masih mencintainya. Kisah cinta mereka pun kandas dilalap api.

Itulah ulasan singkat dari buku Anak Bajang Menggiring Angin, yang sarat akan nilai dan tentu saja direkomendasikan masuk list bacaanmu berikutnya. Bagi pembaca yang tidak familiar dengan wayang dan kisah Ramayana tidak perlu khawatir, karena detail dalam penulisan cerita, silsilah keturunan, dan latar belakang tiap tokoh juga menjadi nilai tambah buku ini. Buku ini ada juga versi bahasa Inggrisnya berjudul “Herding The Wind.

Novan Harya Salaka