Sekar Anindyah Lamase | aisyah khurin
Novel Grass karya Keum Suk Gendry-Kim (goodreads.com)
aisyah khurin

Novel "Grass" karya Keum Suk Gendry-Kim merupakan sebuah karya yang sangat kuat secara emosional sekaligus historis. Buku ini mengangkat kisah nyata tentang penderitaan perempuan Korea yang menjadi korban perbudakan seksual oleh tentara Jepang pada masa penjajahan Jepang di Korea, yang dikenal dengan istilah comfort women.

Dengan gaya visual hitam-putih yang sederhana namun menghantui, Grass tidak hanya berfungsi sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai kesaksian sejarah dan bentuk perlawanan terhadap upaya penghapusan ingatan kolektif. Melalui narasi yang sunyi, lambat, dan penuh luka, Keum Suk Gendry-Kim menghadirkan kisah kemanusiaan yang sangat menyentuh dan menggugah nurani pembaca.

Cerita dalam Grass berpusat pada tokoh bernama Lee Ok-sun, seorang perempuan Korea yang mengalami masa kecil penuh kemiskinan dan kekerasan. Sejak kecil, hidup Ok-sun sudah diwarnai penderitaan, ia dijual oleh keluarganya karena kemiskinan, dipaksa bekerja, dan mengalami berbagai bentuk penindasan.

Trauma demi trauma menumpuk bahkan sebelum ia diculik dan dijadikan budak seks oleh tentara Jepang. Penggambaran masa kecil Ok-sun ini penting karena menunjukkan bahwa penderitaan para korban tidak dimulai di rumah bordil militer, melainkan telah tertanam sejak sistem sosial yang timpang dan patriarkal memperlakukan perempuan sebagai komoditas.

Ketika Ok-sun akhirnya dibawa ke rumah bordil tentara Jepang, novel ini tidak menampilkan kekerasan secara eksplisit atau sensasional. Sebaliknya, Keum Suk Gendry-Kim memilih pendekatan yang lebih sunyi dan simbolik. Kekosongan panel, ekspresi wajah yang membeku, dan pengulangan adegan sehari-hari justru memperkuat rasa ngeri dan keputusasaan.

Pembaca diajak merasakan waktu yang berjalan lambat dan menyiksa, seolah-olah penderitaan itu tak berujung. Pendekatan ini membuat trauma terasa lebih nyata, karena tidak dipaksa melalui visual brutal, melainkan melalui keheningan dan repetisi yang menyesakkan.

Salah satu kekuatan utama Grass terletak pada kemampuannya menggambarkan trauma jangka panjang. Setelah perang usai, Ok-sun tidak serta-merta bebas dari penderitaan. Ia kembali ke masyarakat yang tidak siap menerima korban, apalagi mendengarkan kisah mereka.

Rasa malu, stigma sosial, dan ketakutan membuat Ok-sun memilih bungkam selama puluhan tahun. Novel ini dengan tajam menunjukkan bahwa luka perang tidak berakhir ketika senjata berhenti menyalak, melainkan terus hidup dalam ingatan dan tubuh para korban. Trauma menjadi bagian dari identitas, sesuatu yang harus dinegosiasikan setiap hari.

Judul "Grass" sendiri memiliki makna simbolis yang sangat kuat. Rumput adalah sesuatu yang sering diinjak, dianggap sepele, dan tumbuh kembali meskipun terus ditekan. Melalui simbol ini, Keum Suk Gendry-Kim menyiratkan ketahanan para korban perempuan. Mereka mungkin dilukai, dipatahkan, dan dipaksa diam, tetapi tetap bertahan dan hidup. Rumput juga melambangkan ingatan yang terus tumbuh meskipun ada upaya untuk menghapusnya. Dengan demikian, Grass menjadi simbol perlawanan terhadap lupa dan penyangkalan sejarah.

Gaya visual hitam-putih dalam novel ini bukan sekadar pilihan estetika, melainkan bagian integral dari narasi. Kontras antara hitam dan putih mencerminkan dunia yang keras dan tanpa kompromi, sekaligus mempertegas nuansa kelam cerita.

Tidak adanya warna juga memberi ruang bagi pembaca untuk fokus pada emosi dan makna, bukan pada keindahan visual semata. Setiap garis tampak kasar dan tegas, seolah-olah digoreskan dengan beban emosi yang berat. Visual ini memperkuat kesan dokumenter dan kesaksian, menjadikan Grass terasa sangat personal dan jujur.

Selain sebagai kisah individu, Grass juga berfungsi sebagai kritik sosial dan politik. Novel ini secara tidak langsung mengecam pemerintah Jepang yang selama bertahun-tahun menolak bertanggung jawab secara penuh atas kejahatan perang terhadap comfort women.

Pada saat yang sama, karya ini juga mengkritik masyarakat Korea yang kerap meminggirkan korban dan lebih memilih diam demi “kehormatan” kolektif. Keum Suk Gendry-Kim menegaskan bahwa diam bukanlah solusi, dan bahwa keadilan hanya dapat dicapai melalui pengakuan dan ingatan.

Pada akhirnya, "Grass" adalah karya yang menyakitkan namun penting. Novel ini menuntut empati, kesabaran, dan keberanian dari pembaca untuk menghadapi kenyataan sejarah yang kelam. Kisah Lee Ok-sun bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan pengingat bahwa kekerasan terhadap perempuan, perang, dan penghapusan suara korban masih menjadi persoalan hingga hari ini.

Dengan pendekatan yang puitis, sunyi, dan penuh hormat, Keum Suk Gendry-Kim berhasil menghadirkan sebuah karya yang tidak hanya layak dibaca, tetapi juga diingat dan direnungkan. Grass berdiri sebagai monumen kecil namun kuat bagi mereka yang selama ini dipaksa menjadi rumput yang diinjak, dilupakan, tetapi tetap tumbuh.

Identitas Buku

Judul: Grass

Penulis: Keum Suk Gendry-Kim

Penerbit: Diundi dan Triwulanan

Tanggal Terbit: 27 Agustus 2019

Tebal: 480 Halaman

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS