Sudah menonton film Indonesia berjudul Marley yang rilis tanggal 17 Maret 2022 lalu? Jika sudah, pasti teman-teman akan mengingat sebuah adegan di mana Doni (diperankan oleh Tengku Tezi), harus menerima kenyataan pahit dipecat dari sekolahnya tempat mengajar.
Iya, Doni yang merupakan sahabat dari Marley (anjing pemeran utama dalam film ini), sejatinya adalah seorang guru matematika handal. Namun, pada akhirnya harus kehilangan pekerjaannya sebagai guru di sekolah tempatnya mengabdi karena menerapkan sistem belajar yang merdeka.
Sebagai salah satu orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, tentu saja saya menanggapi hal ini sebagai sebuah realita yang menyakitkan. Pasalnya, kejadian seperti yang diamali oleh Doni ini memang benar adanya dan terjadi di dunia nyata.
Sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia, masih terpaku pada pakem dan pola yang seragam, bukan berorientasi tunggal pada ketercapaian tujuan Pendidikan atau pemberian materi. Oleh karena itu, ketika ada pengajar atau pendidik yang menerapkan sebuah sistem dan pola baru dalam pengajaran, maka hal tersebut akan disikapi aneh, seperti halnya yang dialami oleh Doni.
Dalam pandangan saya pribadi, apa yang dilakukan oleh Doni justru merupakan sebuah implementasi dari program Merdeka Belajar yang telah dicanangkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Nadiem Anwar Makarim.
Dalam konsepnya, Merdeka Belajar sendiri terdiri dari tiga komponen utama, yakni komitmen terhadap tujuan, mandiri dalam menentukan pilihan cara belajar, dan melakukan refleksi terhadap proses dan hasil belajar. Namun sayangnya, ketika Doni dalam film Marley menerapkan sistem pembelajaran lain, yang mandiri dan berbeda, hal tersebut dianggap sebagai sebuah hal yang tidak benar.
Hal ini tentu saja memantik sebuah stigma negatif terhadap Pendidikan Indonesia yang masih terkesan kolot dan tidak inovatif serta mengikuti perkembangan zaman. Padahal sangat jelas, Merdeka Belajar dicanangkan untuk memberikan ruang gerak yang bebas bagi guru-guru dan siswa untuk belajar sesuai dengan cara masing-masing, demi bisa menghindari kesuntukan yang melanda ketika pembelajaran berlangsung.
Namun beruntungnya, pada film Marley ini, Doni juga mampu membuktikan kepada masyarakat luas bahwa dia bisa berhasil dengan sistem pengajaran yang dia kembangkan di tempat les matematikanya sendiri. Bahkan, dalam perlombaan matematika, anak-anak asuh Doni pun berani bersaing dengan anak-anak yang berasal dari lembaga lainnya.
Bagaimana, apa di tempat kalian ada yang kondisinya seperti Doni dalam film Marley ini?
Tag
Baca Juga
-
Timnas Indonesia, SEA Games 2025 dan Kegagalan yang Hanya Berjarak 1 Gol Saja
-
Maaf PSSI, Timnas Indonesia Memang Layak Pulang Cepat dari SEA Games Kali Ini
-
Jalani Laga Genting untuk Lolos, Garuda Muda Harapkan Keajaiban Timnas Era STY Kembali Terjadi!
-
Lolos ke Semifinal SEA Games 2025, Garuda Muda Harus Ucapkan Terima Kasih kepada Vietnam!
-
Wajib Menang 3 Gol, Masih Bisa Loloskah Garuda Muda Jika Hanya Cetak 2 Gol? Begini Analisisnya!
Artikel Terkait
Ulasan
-
7 Our Family: Luka Keluarga dari Sudut Anak Paling Terlupakan
-
Ahlan Singapore: Rebecca Klopper Terjebak di Antara Kiesha Alvaro dan Ibrahim Risyad
-
Ulasan Novel Timun Jelita: Bukti Mengejar Mimpi Nggak Ada Kata Terlambat!
-
Ulasan Novel The Mint Heart: Romansa Gemas Reporter dengan Fotografer Cuek
-
Review Novel Kami (Bukan) Sarjana Kertas: Potret Realistis Kehidupan Mahasiswa Indonesia
Terkini
-
Dampak Jangka Panjang Bullying: Dari Depresi hingga PTSD pada Remaja
-
Cerita Ruangkan, Solusi dari Bayang-Bayang Burnout dalam Hustle Culture
-
Sinopsis dan Kontroversi Drama China Love dan Crown, Layakkah Ditonton?
-
5 Rekomendasi Drama China Misteri Baru 2025 untuk Temani Akhir Pekan
-
Indonesia di Mata Ji Chang Wook: Perjalanan Healing yang Penuh Makna