Waktu pertama kali nonton film horor panjat tebing berjudul: The Sound, di awal adegan, langsung terasa ini bakal jadi sesuatu yang beda. Soalnya, film ini dibuka dengan adegan yang benar-benar bikin napas tertahan. Scene seorang pendaki lagi sendirian di puncak gunung bersalju, dikelilingi kabut tebal dan angin yang nggak bersahabat, dengan suasana dingin, sunyi, dan ngasih vibe mencekam, itu sangat menarik perhatian untuk lebih dalam mengulik film ini.
Nah, yang bikin adegan makin seram, bukan cuma karena alam yang ganas, tapi karena tiba-tiba si pendaki sadar kalau tali penyangganya mulai ditarik. Bukan sama manusia, bukan juga sama binatang.
Kerennya, penonton di awal, nggak dikasih tahu apa. Rasa nggak aman itu terasa banget.
Sayangnya, rasa tegang dan misterius yang ditawarkan di awal itu kayak langsung lenyap begitu film masuk ke babak selanjutnya.
Film The Sound malah kayak ngalor-ngidul, tensi horornya turun drastis, dan sosok misterius yang sempat bikin penasaran banget, malah kehilangan daya cengkeramnya.
Padahal potensi untuk jadi horor alam yang benar-benar nempel di kepala itu ada banget. Sayangnya, film ini lebih banyak bikin bertanya-tanya, “Lho, ini sebenarnya mau ke mana sih ceritanya?”
Nah, buat Sobat Yoursay yang mau tahu lebih banyak detailnya lagi, yuk, kepoin bareng!
Sinopsis Film The Sound
Disutradarai dan ditulis Brendan Devane, Film The Sound sebenarnya punya konsep menarik. Ada gunung terlarang bernama The Forbidden Wall di British Columbia, yang sudah 63 tahun nggak disentuh sejak kelompok pendaki pada tahun 1959 hilang tanpa jejak.
Nah, di tahun 2022, sekumpulan pendaki mencoba menaklukkannya lagi. Ada dendam pribadi di sana. Yap! Sean (diperankan Marc Hills) memimpin tim karena kakeknya adalah salah satu dari mereka yang hilang di tahun ’59. Bersama Colton (Nicholas Baroudi) dan rekan-rekan atlet tangguh lainnya, mereka siap menghadapi bahaya.
Berhasilkah mereka mendaki? Sebenarnya sudah sangat jelas bila pendakian mereka nggak akan mudah!
Review Film The Sound
Aku rasa film ini kelewat sibuk menjelaskan latar belakang para pendaki yang sebenarnya nggak begitu penting. Semua pembicaraan teknis soal cams, nuts, walkoffs, dan jargon pemanjat lainnya bikin diriku terjebak di kelas teori, bukan di film horor.
Saat akhirnya mereka benar-benar mendaki, momennya pun terputus-putus dan minim tensi. Setiap teror datang terlalu cepat, terlalu terang, dan terlalu sering, sampai nggak ada ruang buat imajinasi atau rasa takut yang seharusnya perlahan menjalar. Padahal kalau dibikin kayak found footage style, mungkin film ini bisa lebih mengandalkan rasa misterius daripada efek horor yang setengah hati.
Ada juga subplot yang terasa tempelan, misalnya karakter Chief Guyustees (Wayne Charles Baker), tokoh adat yang tahu lebih banyak tentang gunung dan Sean dibanding siapa pun, tapi selalu bicara dengan kalimat-kalimat klise. Misalnya, dia tahu nama Sean cuma karena katanya, “Burung gagak memberi tahu aku.” Hmmm … gaje memang!
Yang bikin sayang banget, ada bagian film yang sebenarnya menarik. Saat para pendaki benar-benar berada di atas dinding batu, menggantung di udara, harus cepat ambil keputusan soal tenda gantung, teknik belay, atau menukar tali. Momen-momen itu terasa nyata dan menggigit, walaupun sayangnya nggak cukup sering dimunculkan.
Pemeran seperti William Fichtner, Jocelyn Hudon, dan Christina Kirkman tampak berusaha keras menghidupkan dialog yang kaku dan cerita yang tipis, tapi nggak bisa menyelamatkan film dari keterpurukannya. Visualnya kadang cantik, kadang kacau, apalagi saat efek visual mencoba menampilkan elemen horor secara frontal. Dan di dunia horor, terlalu banyak yang diperlihatkan itu menghilangkan rasa takut!
Pada akhirnya, The Sound lebih seperti deru angin kosong di antara tebing. Banyak potensi, tapi eksekusinya terlalu bising dengan jargon, dan terlalu terang dengan teror. Sangat disayangkan!
Skor: 1/5
Baca Juga
-
Review Film Assalamualaikum Baitullah: Menyentuh dan Bikin Rindu Tanah Suci
-
Review Film Before We Forget: Menyulam Ingatan yang Nggak Pernah Terucap
-
Review Film The Gold Rush: Charlie Chaplin dan Sepatu yang Dimakan
-
Review Film Brick: Dinding Misterius yang Menutupi Akses Hidup Manusia
-
Review Film Marcello Mio: Anak yang Hidup di Bawah Bayang-Bayang Sang Ayah
Artikel Terkait
-
Review The Contractor: Chris Pine Dikhianati sebagai Tentara Bayaran, Tayang Malam Ini di Trans TV
-
Assalamualaikum Baitullah Sedang Tayang di Bioskop, Ceritakan Perjalanan Jiwa dari Gelap ke Cahaya
-
Syuting Film Sore: Istri dari Masa Depan di Finlandia Pakai Semangat UMKM, Maksudnya?
-
The Love Hypothesis Resmi Difilmkan, Lili Reinhart Jadi Bintang Utama
-
Review Film Arti Cinta: Kisah Cinta yang Bikin Hati Remuk Redam!
Ulasan
-
Ungkapan Rasa Sesak yang Tertahan dari Buku Dari Aku yang Hampir Menyerah
-
Ulasan Novel Far and Away: Pertukaran Rumah yang Mengubah Kehidupan
-
Buku Perjalanan Mustahil Samiam dari Lisboa: Sepasang Elang dari Diyarbakir
-
Ulasan Serial Too Much: Komedi Romantis yang Berantakan tapi Menyentuh
-
Menikmati Humor ala Anak Magang di Novel Secangkir Kopi dan Pencakar Langit
Terkini
-
PSSI Minta Hanya 7 Pemain Asing, Regulasi 11 Pemain di Super League Batal?
-
Tak Rela Tamat, Penggemar Desak The Wheel of Time Dilanjutkan Lewat Petisi
-
4 Inspirasi Mix and Match Kasual ala Mai izna, Stylish tanpa Ribet!
-
Sinopsis Drama The Princess's Gambit, Dibintangi Liu Xueyi dan Meng Ziyi
-
4 Gaya Harian Kekinian ala Liz IVE, Simpel tapi Catchy!