Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Ningsih Wulandari K.I.
Ilustrasi cyber crime (Pexels/Sora Shimazaki).

Teknologi berkembang sangat pesat pada zaman sekarang ini. Semua orang menggunakan teknologi untuk mempermudah kegiatan sehari-hari. Contohnya saja zaman sekarang, setiap orang pasti setidaknya memiliki satu gadget di tangannya. Salah satu kemudahan teknologi adalah cepat dan efektif dalam menjalankan transaksi dimanapun dan kapanpun baik itu untuk transportasi, belanja barang kebutuhan, maupun properti. Namun selalu ada resiko dari menggunakan kemudahan yang tersedia. Salah satunya dalah maraknya terjadi penipuan menggunakan teknologi.

Menurut Juru Bicara Kominfo, Kementerian Kominfo menerima laporan aduan penipuan transaksi online sebanyak 115.756 laporan sepanjang tahun 2021. Namun, angka laporan penipuan online ini cenderung terjadi penurunan dari tahun 2020 yang berjumlah 167.675 laporan. Dari angka tersebut penipuan transaksi online yang paling sering terjadi yaitu transaksi jual beli yang terjadi di e-commerce dan media sosial. 

Modus penipuannya yaitu pelaku mengajak pembeli melakukan transaksi di luar e-commerce atau bisa juga dengan mengambil alih e-commerce korban dan mengambil saldo uang digital yang ada di akun tersebut. Tidak hanya itu, kasus kejahatan di dunia internet (cyber crime) lainnya dengan bentuk penipuan banyak terjadi seperti kasus undian berhadiah merk terkenal, teror telpon, bahkan yang berkedok donasi.

Banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya cyber crime yang berjenis penipuan secara online. Salah satunya seperti yang dipaparkan oleh Suparji ahli kriminologi, bahwa peningkatan tindak kejahatan pada masa pandemi Covid-19 ini misalnya karena adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran yang diakibatkan pandemi Covid-19. Akibat dari adanya PHK ini, yang mana membuat pengeluaran jauh lebih besar dibandingkan dengan pemasukan yang diterimanya, terkadang menjadikan alasan utama seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga, kriminalitas menjadi masalah besar yang tak kunjung usai diatasi dengan baik oleh negara-negara di mana pun, termasuk Indonesia.

Salah satu pelaku penipuan online yang tertangkap mengaku bahwa ia melakukan hal itu karena desakan ekonomi selama pandemi. Ia juga mengakui bahwa iamengetahui cara untuk mendapatkan uang dari akun korban yaitu dari media sosial dan Youtube. Tidak hanya itu, agar lebih mudah dalam menjalankan aksinya, biasanya pelaku penipuan online tidak melakukan hal itu seorang diri namun beramai-ramai. Pelaku mengajak teman-teman dan kerabat dekat untuk bergabung dan membagi tugas. Pelaku menjelaskan semakin banyak yang bergabung semakin banyak keuntungan dari berbagai media sosial dan market place

Menurut kajian kriminologi, fenomena penipuan online ini dapat di tinjau berdasarkan teori diferensiasi asosiasi yang dikemukakan oleh Sutherland (1939) dalam bukunya yang berjudul Principles of Criminology. Dalam buku itu Sutherland (1939) menjelaskan bahwa teori diferensiasi adalah proses belajar tingkah laku kriminal melalui interaksi sosial. Jadi pandangan seseorang tentang pengaruh kriminal atau non-kriminal yang lebih kuat dalam kehidupan seseorang dapat menentukan apakah seseorang tersebut akan melakukan tindak kriminal atau tidak. 

Terdapat tiga proposisi menurut Sutherland (1939) yang sesuai dengan kasus penipuan online ini yaitu, (1) Kejahatan dipelajari dengan partisipasi orang lain baik dengan komunikasi verbal maupun non-verbal, seperti halnya ketika pelaku mempelajari cara menipu orang dari Youtube dan media sosial lainnya. (2) Proses belajar tingkah laku kriminal terjadi terjadi pada kelompok orang yang dekat/intim seperti keluarga dan teman-teman dekat. Sejalan dengan dilakukannya penipuan ini secara berkelompok, pelaku mengajak teman dan kerabat untuk bergabung bersamanya, sehingga teman dan kerabatnya tersebut juga menjadi kriminal. (3) Mempelajari perilaku kriminal meliputi teknik melakukan kejahatan, arah khusus dari motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap. Ketika di investigasi, para pelaku mengatakan hal yang sama terkait cara melakukan kejahatan dan motifnya. Hal ini yang menjadi awal dari kecurigaan penyidik terhadap adanya komplotan lainnya.

Beruntungnya UU ITE memberikan perlindungan terhadap korban penipuan secara online berupa pemberian sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana penipuan secara online. Sanksi pidana yang diberikan oleh UU ITE berupa pidana penjara dan pidana denda. Selain itu UU ITE juga memberikan perlindungan kepada korban penipuan melalui internet berupa  penyelesaian sengketa, hal ini ditandai dengan adanya substansi hukum pidana formil yang terdapat pada UU ITE. Masyarakat hendaknya juga dilibatkan (partisipasi masyarakat) untuk melakukan pengawasan dalam rangka penegakan hukum pelayanan publik, karena partisipasi dapat diartikan sebagai ikut serta, berperan serta dalam suatu kegiatan, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi (Fadhila, 2021).

Ningsih Wulandari K.I.

Baca Juga