Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Budi Prathama
Hazairin. (Wikipedia)

Pahlawan bangsa yang satu ini mungkin sedikit orang yang mengenalnya, ia adalah Hazairin pejuang bangsa yang lahir di Sumatra Barat. Sosok Hazairin dalam perjuangan bangsa Indonesia juga tak boleh disepelekan, ia termasuk Residen Bengkulu yang ikut bergerilya bersama kelurganya dan menjadi salah satu pemimpin pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk melawan Agresi Militer II oleh Belanda pada tahun 1948.

Hazairin lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada tanggal 28 November 1906. Ia adalah putra dari pasangan Zakaria Bahri yang berasal dari Bengkulu dan Aminah dari Minangkabau, seperti yang dikutip dalam buku "Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan" ditulis oleh Johan Prasetya.

Ayah Hazairin bekerja sebagai guru yang cukup terpandang di masyarakat dan kakeknya bernama Ahmad Bakar yang dikenal sebagai ulama populer. Hazairin orang yang termasuk hidup berada di tengah-tengah keluarga religius, sehingga dari situ ia mendapatkan pelajaran dasar ilmu agama dan bahasa Arab.

Masa pendidikan Hazairin dapat tamat dari sekolah tinggi hukum di Jakarta (Recht Hoge School) pada tahun 1936 dengan gelar sebagai dokter hukum adat. Setelah tamat kuliah, Hazairin bekerja sebagai seorang Kepala Pengadilan Negeri Padang Sidempuan (1938-1945). Hazairin juga banyak melakukan penelitian terkait hukum adat Tapanuli Selatan sehingga ia diberi gelar “Pangeran Alamsyah Harahap”. Pada tahun 1946, Hazairin diangkat sebagai Residen Bengkulu dan merangkap sebagai Wakil Gubernur Militer Sumatra Selatan.

Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II pada tahun 1948, Hazairin ikut bergerilya bersama keluarga untuk melawan serangan Belanda itu. Dalam kesempatannya, Hazairin juga memimpin pasukan secara langsung dan aktif melakukan pertemuan dengan pamong praja untuk mengobarkan semangat perjuangan rakyat dan semangat persatuan.

Bahkan, Hazairin ikut membantu perjuangan secara swadana untuk membiayai kebutuhan logistik Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di wilayah Keresidenan Bengkulu. Di samping itu, atas perintahnya sehingga pasukan TKR berhasil menghancurkan jembatan yang ada di Keresidenan Bengkulu hingga perbatasan Padang, Palembang dan Lampung. Hingga akhirnya, Hazairin pun menjadi sasaran penangkapan Belanda, namun sering kali gagal.

Pada tahun 1956, Hazairin terpilih sebagai Dewan Konstituante sampai pada tahun 1959. Hazairin juga sangat produktif untuk menulis, di antara karyanya seperti Hukum Kewarisan  Menurut Al-Qur’an (1958) dan Demokrasi Pancasila (1970). Selain itu, Hazairin juga termasuk tokoh yang aktif di bidang politik, bersama dengan Wongsonegoro dan Rooseno, Hazairin ikut mendirikan Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR). Bahkan, Hazairin sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) sebagai wakil partai PIR.

Setelah selesai terjun di dunia politik, Hazairin menjadi Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam di Universitas Indonesia. Selain itu, ia juga menjadi Guru Besar di Universitas Islam Jakarta, Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM), dan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Pada 11 Desember 1975, Hazairin meninggal dunia di Jakarta. Jenazahnya pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional pada tahun 1999. Hal itu dikarenakan sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa Hazairin yang sejak dari awal memperjuangkan kemerdekaan hingga mengisi kemerdekaan yang kiprahnya telah banyak ia torehkan.  

Budi Prathama