Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Oktavia Ningrum
Ilustrasi futsal (Unsplash/Jimmy Conover)

Tidak ada yang bisa mengalahkan sensasi saat bermain futsal. Bahkan saat timmu kalah, tapi tetap didukung satu tribun penuh. Atau momen magis ketika bola bersarang di gawang lawan di detik-detik terakhir, membalikkan segalanya.

Dalam sempitnya lapangan dan derasnya napas, futsal menyimpan banyak hal: perjuangan, tawa, dan rasa memiliki yang sulit dijelaskan dengan kata.

Futsal adalah olahraga bola yang dimainkan oleh dua tim dengan masing-masing lima orang pemain. Biasanya di dalam ruangan. Dibandingkan dengan sepak bola, futsal punya keunikan tersendiri.

Ukuran lapangan futsal lebih kecil, sekitar 25–42 meter panjang dan 15–25 meter lebar menurut standar nasional. Dengan lingkaran tengah beradius 3 meter, ruang ini memaksa para pemain untuk bermain cepat, penuh teknik, dan saling berkoordinasi dalam waktu yang nyaris tanpa jeda.

Ruang Sempit, Hubungan Erat

Meski kecil, lapangan futsal justru menjadi ruang di mana hubungan antarpemain tumbuh lebih erat. Karena keterbatasan ruang, komunikasi harus cepat, spontan, dan jujur. Setiap gerak—umpan, tembakan, ataupun pressing—harus dilakukan dengan keyakinan bahwa rekan satu tim akan memahami maksudnya.

Tak heran, di ruang ini, banyak pemain menemukan rasa aman. Rasa bahwa mereka tidak sendiri. Bahwa ketika gagal, selalu ada teman yang berkata, “Santai, ayo lagi.” Support system seperti inilah yang menjadikan futsal bukan cuma tentang menang-kalah, tapi tentang kebersamaan dan solidaritas.

Dari Montevideo ke Seluruh Dunia

Futsal pertama kali dirancang pada tahun 1930 oleh Juan Carlos Ceriani di Montevideo, Uruguay. Ceriani, seorang guru olahraga di YMCA, ingin menciptakan versi sepak bola yang bisa dimainkan di dalam ruangan ketika cuaca buruk. Ia pun merancang permainan yang tetap mempertahankan elemen utama sepak bola—umpan, dribel, dan tembakan—namun dalam skala yang lebih efisien dan praktis.

Seiring waktu, futsal berkembang pesat dan diadopsi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Tak hanya menjadi ajang latihan teknik bagi pemain sepak bola, futsal kini menjadi gaya hidup, bahkan budaya tersendiri di kalangan remaja dan dewasa muda.

Sportivitas yang Terbawa ke Kehidupan

Ritme permainan yang cepat dan banyak kontak fisik, pemain futsal dituntut untuk sportif. Bahkan saat wasit tak melihat pelanggaran kecil. Kebiasaan ini membentuk karakter: jujur, tangguh, dan mampu menghargai lawan.

Di lapangan kecil itu, remaja belajar bahwa menang bukan segalanya. Yang lebih penting adalah bagaimana cara bermain, menghargai rekan setim dan lawan, serta menerima hasil dengan kepala tegak.

Nilai-nilai ini bisa terbawa ke luar lapangan. Remaja yang tumbuh dengan futsal cenderung memiliki jiwa kolaboratif, kemampuan berpikir cepat, dan empati tinggi terhadap orang lain. Di zaman serba digital ini, olahraga seperti futsal bisa jadi penyeimbang penting bagi tumbuh kembang karakter generasi muda.

Futsal di Era Milenial dan Gen Z

Kini, futsal masih digemari oleh generasi milenial yang kini memasuki usia akhir 20-an hingga awal 30-an. Tapi konteksnya sedikit berbeda. Mereka bermain futsal bukan hanya untuk kompetisi, tapi sebagai ajang silaturahmi, reuni, atau sekadar melepas penat setelah bekerja. Sebaliknya, generasi Z memainkannya dengan semangat kompetitif dan ekspresif, mencari identitas dan tempat untuk berkembang.

Kehadiran AXIS Nation Cup 2025 menjadi bukti nyata bahwa futsal tetap hidup di hati anak muda. Turnamen ini bukan hanya ajang kompetisi, tetapi juga wadah aktualisasi, pembentukan karakter, dan tentu saja, kebersamaan.

Kalau kamu ingin menjelajahi lebih banyak tentang futsal, tentang kompetisi olahraga satu ini, dan juga ingin mendaftarkan klub futsal jagoan kamu di sekolah. Kamu bisa cek laman axis.co.id dan anc.axis.co.id. Tak hanya sampai di situ, kalau kamu mau mengikuti berbagai konten menarik dan inspiratif tentang futsal kamu bisa cek di Instagram @AXISnationcupofficial.

Futsal bukan sekadar olahraga. Ia adalah tempat bertumbuh, tempat merasa hidup, dan ruang di mana kita diajarkan arti sesungguhnya dari kerja sama, keberanian, dan rasa saling percaya.

Oktavia Ningrum