Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rozi Rista Aga Zidna
Buku Ghuffron (Dok. Pribadi/Fathorrozi)

Ujian dan cobaan memang datangnya dari Tuhan. Sebagai manusia kita harus bisa menghadapi dan menerimanya dengan sabar dan lapang dada. Sebab, ujian dan cobaan diberikan, pertanda kita akan naik kelas jika mampu melaluinya dengan tabah. Sementara jika tidak mampu, maka ia akan menghujat keadilan Tuhan dan Tuhan akan menghukumnya.

Tapi, Tuhan menganugerahi kita ujian, tentu telah sesuai dengan ukuran kemampuan kita. Sebagaimana firman-Nya, Ia berikan cobaan kepada seorang hamba sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian, cobaan yang ada harusnya diterima dengan senyuman dan rasa legowo, bukan dengan cacian atau pemberontakan dengan beralih menuju maksiat.

Humam S. Chudori membidik soal ujian Tuhan sebagai gagasan utama karya novelnya yang berjudul Ghuffron. Novel terbitan Republika pada Agustus 2008 ini mengangkat kisah seorang guru ngaji bernama Ghuffron yang hidup bersama istrinya, Kamijah, dan anaknya, Abidin. Hidup Ghuffron sangat pas-pasan kalau tidak mau dikatakan tidak cukup. Walaupun tidak pernah punya tabungan, Ghuffron merasa hidupnya berkah.

Kepada Kamijah, istrinya, Ghuffron selalu menanamkan sifat qana'ah, menerima lapang dada atas takdir Tuhan. Ia bernasihat bahwa manusia harusnya memandang ke bawah dalam urusan dunia, dan memandang ke atas dalam perkara akhirat. Sebagaimana dalam salah satu percakapan di dalam novel ini:

"Masih banyak orang yang di negeri kita ini yang hidupnya di bawah standar. Yang mungkin untuk makan saja sangat susah payah mencarinya. Bahkan tidak sedikit yang sudah makan nasi aking atau gaplek" (halaman 6).

Kalimat tersebut seringkali diucapkan oleh Ghuffron kepada istrinya. Dan saat menjelang lebaran istrinya selalu mengajak Ghuffron pulang kampung, namun ia menanggapinya dengan kalimat,

"Kalau sekadar belum bisa pulang pada saat lebaran mestinya kita masih harus tetap bersyukur. Toh tiap lebaran anak kita masih bisa berganti baju."

"Saya sendiri tidak pernah bisa membayangkan bagaimana kehidupan para pemulung yang setiap hari harus mengaduk-aduk tempat sampah. Hidup mereka tidak jelas. Anak-anak mereka tidak punya masa depan yang pasti. Dan tidak sedikit dari mereka yang tidur di dalam gerobaknya" (halaman 7).

Dengan membaca novel ini, kita diajak untuk hidup optimis. Meski dalam kondisi serba kekurangan, kita mampu bersyukur atas karunia Tuhan yang diberikan kepada kita. 

Rozi Rista Aga Zidna