Akhir-akhir ini, kasus perundungan (bullying) kian marak terjadi di negeri kita. Kasus-kasus ini memang bukanlah fenomena baru di masyarakat. Bahkan, perundungan sendiri sudah ada dan terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena ini kian menjadi sorotan di banyak kalangan.
Di sisi lain, stigma perundungan yang ada di masyarakat selalu erat kaitannya dengan orang-orang yang diidentikkan dengan kondisi fisik kurang rupawan, seperti tidak begitu cantik atau tampan, ataupun yang cenderung memiliki paras biasa-biasa saja sebagai korbannya. Namun, ternyata orang-orang yang memiliki paras rupawan tidak luput dari risiko terkena tindakan perundungan dari orang lain.
Mungkin, salah satu kalimat terkenal dari salah satu karya sastra populer, yakni “Cantik itu Luka”, bisa menggambarkan kondisi orang-orang berparas rupawan seperti tampan atau cantik yang bisa menjadi korban perundungan. Hal ini memang kerap luput dari pengamatan masyarakat dan dianggap nyaris mustahil terjadi. Namun, banyak kasus berbicara sebaliknya.
Beberapa waktu lalu, ada kasus yang menerpa salah satu figur publik terkenal yang mendapatkan perundungan di media sosial. Perundungan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang tidak dikenal atau bisa dikatakan akun anonim. Ujaran perundungan tersebut bisa meliputi kata-kata seperti, “Sok cantik,” atau “Tidak usah merasa paling sempurna.”
Meskipun terlihat sebagai ujaran kebencian atau perundungan yang cukup sepele, hal tersebut diketahui sukses membuat figur publik yang menjadi korban merasa depresi hingga harus menemui psikiater untuk memulihkan kondisi mentalnya.
Salah satu contoh kasus tersebut adalah bukti bahwa perundungan benar-benar tidak pandang bulu dan bisa menyerang siapa saja. Namun, apa yang menjadi penyebab orang-orang berparas rupawan ini bisa rentan menjadi korban perundungan?
Rasa Iri sebagai Pendorong Perundungan
Ada salah satu teori yang cukup menguatkan mengapa orang-orang berparas rupawan ini bisa menjadi korban perundungan, yakni karena pelaku memiliki rasa iri atas apa yang dimiliki atau privilese yang didapat oleh korban. Dalam konteks ini, paras rupawan adalah penyebabnya.
Sudah menjadi rahasia umum di masyarakat jika memiliki paras yang rupawan adalah sebuah anugerah dan privilese yang tidak bisa dimiliki oleh semua orang. Hal inilah yang kemudian bisa mendorong orang lain yang tidak memiliki privilese tersebut untuk merasa iri hati kepada orang yang berparas rupawan.
Perasaan iri ini kemudian memunculkan dorongan untuk melakukan tindakan perundungan kepada korban, mulai dari perundungan verbal, perundungan siber (cyberbullying), hingga perundungan yang mengakibatkan kekerasan fisik.
Bagaimana Cara Menanggulanginya?
Sejatinya, ada beberapa cara bagi para korban untuk menanggulangi tindakan perundungan yang dilakukan oleh orang lain. Salah satu yang paling sederhana adalah menjaga pikiran tetap positif dan tidak terpengaruh oleh tindakan perundungan yang dilakukan oleh pelaku.
Korban bisa meyakini bahwa paras rupawan yang dimilikinya adalah sebuah anugerah dari Tuhan dan harus disyukuri. Mereka tidak boleh merasa insecure atau minder, lalu menyalahkan paras rupawan yang dimilikinya.
Selain itu, jika korban sudah terlanjur mengalami permasalahan mental karena tindakan perundungan tersebut, menghubungi spesialis seperti psikiater bisa menjadi salah satu sarana pemulihan mental yang cukup efektif.
Jadi, tidak selamanya korban perundungan itu identik dengan kekurangan. Orang-orang yang memiliki kelebihan atau privilese, seperti paras yang rupawan, juga rentan terhadap tindakan perundungan.
Baca Juga
-
Sea Games 2025: Indra Sjafri Diambang Raih Rekor Buruk dalam Kariernya!
-
Bukan Timur Kapadze atau STY, Ini 4 Kandidat Calon Pelatih Timnas Indonesia
-
Ironis, Timnas Indonesia U-22 Kalah dari Filipina Lewat Skema Lemparan Jauh
-
Analisis Peluang Timnas Indonesia U-22 di SEA Games 2025: Ada Pengaruh Kamboja Mundur?
-
Tanpa Marselino Ferdinan, Indonesia Tetap Diunggulkan di SEA Games 2025!
Artikel Terkait
-
Kritik Sosial Drama 'Revenge of Others': Cermin Bullying, Sekolah dan Luka
-
Gerakan Anti-Bullying: Selama Diam Jadi Budaya, Itu Hanya Mimpi Belaka
-
Angkat Isu Bullying di Sekolah, Film Qorin 2 Hadirkan Teror dari Dendam
-
Hukum di Indonesia Mengenai Bullying: Sudah Cukup Tegas atau Belum?
-
Pesan Film Moonlight: Deskriminasi, Trauma, dan Keberanian Lawan Bullying
Kolom
-
Nasib Malang Perempuan Nelayan: Identitas Hukum yang Tak Pernah Diakui
-
Merantau: Jalan Sunyi yang Diam-Diam Menumbuhkan Kita
-
Yakob Sayuri Jadi Sasaran, Rasisme Masih Ada di Sepak Bola
-
Kritik Sosial Drama 'Revenge of Others': Cermin Bullying, Sekolah dan Luka
-
Status Bencana Nasional Masih Wacana, Pengungsi Aceh Sudah Terancam
Terkini
-
Ulasan Buku "Brothers", Kenangan Kecil untuk Mendiang Sang Adik
-
Intip Sinopsis Film Timur yang Gaet Penjual Burger untuk Perankan Prabowo
-
4 Rekomendasi Body Lotion Kolagen, Bikin Kulit Tetap Kenyal dan Glowing!
-
Ulasan Novel Pachinko, Kisah Tiga Generasi Keluarga Korea di Jepang
-
Selamat dari Kecelakaan Maut, Dylan Carr Merasa Diberi Kesempatan Kedua