"Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam" karya Dian Purnomo adalah sebuah kisah yang menyentuh hati. Buku ini membawa pembaca ke sebuah realitas pahit yang jarang dibicarakan—tradisi kawin tangkap di Sumba.
Melalui tokoh utama, Magi Diela, cerita ini menggambarkan perjuangan seorang perempuan untuk melawan adat yang merenggut kebebasannya.
Magi adalah perempuan yang memiliki mimpi besar. Setelah menuntaskan pendidikan di Yogyakarta, ia ingin kembali ke kampung halaman untuk membangun pertanian modern dan membantu masyarakatnya.
Namun, tradisi kawin tangkap menghancurkan semua impian itu. Magi diculik dan dipaksa menikah, sebuah praktik yang dianggap wajar oleh masyarakat setempat.
Bagian ini begitu menggugah, karena sebagai pembaca, saya ikut merasakan keterkejutan dan ketidakberdayaan Magi. Telebih, yang menjadi pasangan Magi adalah seorang pria paruh baya serakah, yang sangat dibencinya.
Novel ini tidak hanya berhenti pada penderitaan. Magi tidak menyerah begitu saja. Ia berjuang, bahkan saat seluruh dunia di sekitarnya menentangnya. Tekanan keluarga, omongan masyarakat, hingga adat yang membelenggu tidak membuatnya berhenti memperjuangkan haknya.
Kisah ini bukan hanya tentang melawan tradisi, tetapi juga tentang keberanian untuk memilih jalan hidup sendiri, meskipun itu berarti melawan arus.
Membaca buku ini terasa seperti mendengar sebuah jeritan yang telah lama terpendam. Emosi yang dituangkan begitu kuat.
Kita tidak hanya melihat Magi sebagai tokoh, tetapi juga sebagai cerminan banyak perempuan yang terperangkap dalam tradisi yang tidak adil. Perasaan marah, sedih, dan frustrasi bercampur dengan kekaguman terhadap keberanian Magi.
Novel ini membuka mata tentang bagaimana tradisi dan adat, meskipun penting, tidak boleh menjadi alasan untuk menindas. Melalui cerita ini, kita diajak untuk memikirkan ulang apa arti keadilan dan bagaimana perubahan harus dimulai, meskipun sulit.
"Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam" adalah bacaan yang meninggalkan kesan mendalam. Bukan hanya tentang Magi, tapi juga tentang harapan bagi perempuan lain yang mungkin sedang berjuang dalam sunyi. Novel ini layak dibaca oleh siapa pun yang peduli pada keadilan juga kemanusiaan.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ketika Pekerjaan Sulit Dicari, tapi Janji Politik Mudah Diberi
-
Review Novel 'Kotak Pandora': Saat Hidup Hanya soal Bertahan
-
Review Novel 'Totto-chan': Bukan Sekolah Biasa, Tapi Rumah Kedua Anak-anak
-
Benarkah 'Kerja Apa Aja yang Penting Halal' Tak Lagi Relevan?
-
Review Novel 'Jane Eyre': Ketika Perempuan Bicara soal Harga Diri
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel Sisi Tergelap Surga: Jakarta dan Perspektif yang Tak Terlihat
-
Bangkit dari Keterpurukan Melalui Buku Ternyata Aku Bisa Bertahan
-
Ulasan Novel The Celebrants: Sebuah Perjanjian yang Mengubah Hidup
-
Ulasan Buku Tak Apa Memulai Lagi: Proses Bangkit Setelah Mengalami Kegagalan
-
Mengenal Buku Kontras Aku Sayang Ayah dan Ibu, Stimulasi untuk Newborn
Ulasan
-
Review Film 100 Yards: Konflik Dua Murid, dan Seratus Yard Kehormatan
-
Ulasan Novel The Little Prince: Persahabatan Antara Pilot dan Pangeran Kecil
-
Film Jumbo 10 Juta Penonton: Sebuah Mimpi yang Kini Jadi Kenyataan!
-
Menjalani Hidup dengan Hati Ikhlas dalam Buku Ubah Lelah Jadi Lillah
-
Review Film Exterritorial: Ketika Konsulat Jadi Sarang Konspirasi!
Terkini
-
5 Anime Isekai Terbalik Wajib Ditonton, Terbaru Nihon e Youkoso Elf-san
-
5 Karakter Terkuat One Piece yang Tidak Pernah Terlihat Bertarung, Siapa?
-
AFF Cup U-23: Bisa Jadi Ajang Pemanasan Timnas Indonesia Jelang Kualifikasi Piala Asia U-23
-
GEF SGP Gandeng Universitas Ghent untuk Bangun Indonesia Berkelanjutan
-
Hampir 30 Tahun Dinanti, Happy Gilmore 2 Akhirnya Bakal Rilis Juli 2025