Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Fathorrozi ๐Ÿ–Š๏ธ
Buku Tuhan Tidak Makan Ikan (Dok.Pribadi/Fathorrozi)

Tak semua penulis memiliki kemampuan menggarap kisah tragedi dengan komedi. Atau kalimat lainnya, tak sembarang pengarang berpotensi menggores cerita duka dengan begitu jenaka. Namun, seakan begitu mudah bagi Gunawan Tri Atmodjo menyulap pedih tanpa menyisakan sedih.

Hingga tim kurator (Joni Ariadinata, Tia Setiadi, Edi AH Iyubenu, dan Ahmad Muchlis Amrin) menyatakan Gunawan Tri Atmodjo mempunyai karakter yang tampaknya hanya bisa ditandingi senior jauhnya, Hamsad Rangkuti. Lantaran perihal ironi, satire, dan kemuraman hidup selalu dikemasnya dengan ketebalan imajinasi yang sendu tetapi membuat terbahak.

Jika kita baca tiga cerpen saja dalam buku Tuhan Tidak Makan Ikan ini, kita berkali-kali akan terbahak sekaligus merenung diterkam ironi. Terkesan main-main, cengengesan, tetapi di ranah demikianlah ia menabalkan permenungan-permenungan yang tak sepi pesan moral.

Pada cerpen yang memiliki kata unik dalam judulnya, Slimicinguk, pembaca akan diseret untuk terkekeh menyaksikan ironi riil kehidupan bahwa kekuasaan selalu punya kukunya sendiri untuk memaksakan segala apa, termasuk keganjilan-keganjilan. Cerpen ini mengisahkan pengalih bahasa yang bekerja di sebuah kantor penerbit berskala nasional.

Dodi Nuryanto selaku direktur utama selalu menjadi pembaca awal komik-komik yang akan diterbitkan perusahaannya. Saat membaca seri komik Pendekar Sempak Berdarah yang merupakan terjemahan dari komik laris Tiongkok, ia terusik oleh sebuah kata slimicinguk yang tak ia pahami artinya.

Sang direktur mencari arti kata slimicinguk baik di kamus online maupun lewat mesin pencari di internet, tapi tak menemukan penjelasan apa pun. Pada akhirnya, ia menyerah dan menelepon sekretarisnya untuk memanggil pengalih bahasa komik tersebut. Cipto Hadi sebagai pengalih bahasa pun menghadap direktur. Ketika dimintai keterangan, ia menjelaskan bahwa slimicinguk berasal dari kata bajinguk yang merupakan varian kata bajingan. Bajinguk akrab sebagai umpatan bagi orang Jawa, dan slimi berarti kecil atau tipis yang akan memberikan kesan ringan pada umpatan bajinguk.

Semena-mena sebab mempunyai kekuasaan, tak dibendung oleh direktur untuk bertindak semau-maunya. Cipto Hadi disuruh melafalkan umpatan slimicinguk dengan nada dan intonasi yang sesuai sebanyak 33 kali. Sebab diliputi rasa tidak puas, Dodi Nuryanto akhirnya menyuruh Cipto Hadi untuk mencari umpatan yang lebih puitis, berbobot dan keren dalam waktu setengah jam. Cipto Hadi pun membuat lima kosakata umpatan baru hasil ciptaannya sendiri; pakenton, kemasu, ndeligik, hajingter, dan lakimbin.

Dodi menerima setoran umpatan itu, menimbang-nimbangnya sejenak dengan mengucapkannya lirih lalu meminta kembali Cipto Hadi melafalkan masing-masing umpatan tersebut dengan baik dan benar sebanyak 33 kali. Cipto Hadi menjalankan perintah hingga terengah-engah dan kehabisan suara. Tak hanya diminta melafalkannya masing-masing sebanyak 33 kali, Cipto Hadi juga diminta untuk menjelaskan satu demi satu dari lima umpatan itu.

Usai menguraikan panjang lebar, Dodi menawarkan kata pisuhan baru buatannya; bagero, dan harus dipakainya. Bagero adalah umpatan yang populer semasa penjajahan Jepang, katanya. Namun, bagi Cipto Hadi, bagero itu sama sekali bukan umpatan yang puitis, berbobot dan keren. Masih jauh kelasnya dari slimicinguk. Ingin rasanya Cipto meminta Dodi untuk melafalkan bagero sebanyak 33 kali untuk menyadari betapa rendahnya kadar estetika pisuhan itu.

Bagi Cipto Hadi, pertemuan itu bukan diskusi tapi pemaksaan kehendak atas dasar pangkat dan kekuasaan. Jika sudah punya umpatan sendiri untuk apa pula Dodi mengajaknya berdiskusi dan memintanya mengarang umpatan lain. Seharusnya ia tinggal perintah saja agar waktu Cipto tidak terbuang sia-sia.

Cerpen ini ditutup dengan umpatan Cipto Hadi dengan nada dan intonasi penuh penjiwaan saat kembali ke ruang kerja. Ia memaki, โ€œBagero slimicinguk!โ€ Usai mengumpat begitu, diri Cipto Hadi merasa lumayan lega karena telah memaki sebuah umpatan.

Akhirnya, sebagaimana mengutip endorsement Tia Setiadi di bagian awal buku ini, Gunawan memiliki gaya bercerita yang lucu, unik, dan menyebalkan bahkan. Segala hal berat bisa dijadikannya bahan tertawaan.

Identitas Buku

Judul Buku: Tuhan Tidak Makan Ikan

Penulis: Gunawan Tri Atmodjo

Penerbit: Diva Press

Cetakan: II, Desember 2016

Tebal: 244 halaman

ISBN: 978-602-279-225-3

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Fathorrozi ๐Ÿ–Š๏ธ