Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Ardina Praf
Novel Art of Curse (gramedia.com)

Art of Curse adalah novel fantasi lokal karya Belpoin yang menyuguhkan dunia magis dengan sistem kutukan sebagai kekuatan utama.

Novel ini berkisah tentang sebuah negara maju Mortey, dimana kerja sama antarnegara Asia telah membawa kemajuan dan stabilitas. Namun segalanya berubah sejak sebuah insiden lima tahun lalu menanam teror di udara.

Kutukan-kutukan misterius mulai bermunculan dan menghantui kehidupan warga. Dalam bayang-bayang kekuasaan dan ketakutan, organisasi rahasia di bawah pemerintah bertugas menjaga keseimbangan, mereka adalah para Pemburu Kutukan.

Divisi Lima, sebuah tim magang muda dari organisasi tersebut, menjadi ujung tombak dalam menghadapi ancaman-ancaman baru.

Dalam tugas mereka, tak hanya kutukan yang harus dilawan, tetapi juga ketidakadilan, manipulasi, dan konspirasi yang telah lama terkubur.

Ketika Mortey mulai pulih, bayangan malapetaka kembali muncul. Seseorang diam-diam berusaha menggulingkan pemerintahan dan mengulang sejarah kelam.

Di tengah kekacauan, Divisi Lima harus memilih: menjalankan perintah atau membongkar kebenaran yang selama ini disembunyikan.

Dari awal novel, pembaca langsung dibawa masuk ke dalam atmosfer dunia yang penuh bahaya, rahasia, dan permainan kekuasaan.

Berbeda dengan kebanyakan fantasi yang mengandalkan sihir sebagai kekuatan murni, novel ini mengeksplorasi bagaimana kutukan yang umumnya dianggap sebagai bentuk negatif dapat dimanipulasi menjadi kekuatan yang destruktif sekaligus melindungi.

Tokoh utamanya adalah sosok yang menarik, memiliki latar belakang kelam, dan digerakkan oleh dendam serta rasa kehilangan.

Ia tidak sempurna, penuh konflik batin, dan memiliki alasan kuat dalam setiap keputusannya.

Perjalanan tokohnya tidak hanya menyajikan aksi dan pertarungan, tetapi juga pencarian jati diri dan pertarungan moral, antara membalas atau memaafkan, antara menyelamatkan atau menghancurkan.

Dunia dalam Art of Curse dibangun dengan cukup detail. Terdapat sistem kasta, artefak, serta sejarah panjang mengenai kutukan yang membuat dunia ini terasa hidup dan unik.

Belpoin berhasil menciptakan atmosfer yang kelam namun tetap menyimpan keindahan, seolah mengajak pembaca untuk melihat keindahan dalam kehancuran.

Yang membuat Art of Curse semakin mencolok di antara novel fantasi lokal adalah cara Belpoin memadukan unsur magis dengan kritik sosial secara halus namun menggigit.

Narasi tentang kutukan bukan sekadar metafora dari kekuatan gelap, tetapi juga simbol dari luka sosial, trauma kolektif, dan ketidakadilan sistemik.

Kutukan dalam novel ini bukan hanya hal yang harus dihapus, melainkan sesuatu yang harus dipahami dan dihadapi, baik secara fisik maupun emosional.

Divisi Lima, sebagai tokoh sentral, tidak digambarkan sebagai kelompok pahlawan sempurna. Mereka masih muda, naif, dan banyak belajar di lapangan.

Dalam dunia Art of Curse, hitam dan putih bukanlah warna yang mudah dipisahkan. Tokoh-tokoh “jahat” tidak selalu jahat sepenuhnya, dan tokoh “baik” pun kadang melakukan hal-hal kelam demi tujuan yang lebih besar.

Dari segi penulisan, gaya bahasa Belpoin cenderung puitis, namun tetap mengalir. Dialog antar tokoh terasa emosional dan mendalam, serta sering kali menyimpan makna simbolis yang memperkaya cerita.

Alur cerita juga bergerak dinamis dengan twist yang mengejutkan, membuat pembaca sulit menebak arah akhir cerita.

Secara keseluruhan, Art of Curse adalah kisah tentang kekuatan, luka, dan makna dari kutukan yang sesungguhnya. Sebuah novel fantasi lokal yang pantas mendapat tempat di antara karya-karya besar genre ini.

Ia menawarkan dunia yang berbeda, penuh luka namun tetap indah, dan menyisakan pertanyaan besar, apakah setiap kutukan memang harus dihancurkan, atau justru dipelajari?

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Ardina Praf