Hei, kamu pasti tahu Joko Anwar, kan? Dia adalah salah satu sineas paling berani dan inovatif di Indonesia, yang selalu membawa sesuatu yang segar dalam setiap karyanya. Nah, kali ini dia kembali dengan Pengepungan di Bukit Duri, sebuah film yang terasa berbeda dari karya-karyanya belakangan ini. Kalau sebelumnya kita melihat dia bermain-main dengan horor dan dunia superhero lewat Pengabdi Setan dan Gundala, sekarang dia memilih jalur yang lebih kasar, penuh kekerasan, dan sarat dengan isu sosial.
Film ini bukan cuma soal adegan laga yang brutal, tapi juga tentang luka sejarah yang masih membekas dalam masyarakat kita—isu rasial yang terus dipermainkan untuk kepentingan politik, serta bagaimana kekerasan tumbuh subur di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman: sekolah. Apa film ini berhasil menyampaikan pesannya? Mari kita gali lebih dalam!
Sinopsis: Dari Luka Lama Menuju Pengepungan Mencekam
Kisah dimulai dengan adegan kerusuhan besar yang terjadi saat Edwin dan kakaknya masih duduk di bangku SMA. Situasi kacau, dan seperti yang sering terjadi dalam sejarah, isu rasial menjadi pemicu utama. Edwin dan kakaknya yang berdarah Tionghoa menjadi sasaran amukan massa, memperlihatkan bagaimana prasangka buruk terhadap etnis tertentu dapat dimanipulasi untuk menyulut teror.
Cerita kemudian meloncat ke tahun 2027, di mana Edwin yang kini bekerja sebagai guru pengganti sedang mencari keponakannya. Pencariannya membawanya ke SMA Bukit Duri, tempat murid-murid yang dianggap "buangan" bersekolah. Namun, bukan hanya murid-muridnya yang bermasalah—lingkungan sekolah itu sendiri masih dipenuhi kebencian rasial yang terus berakar, bahkan sejak kerusuhan yang Edwin alami dulu.
Tidak butuh waktu lama sebelum Edwin menjadi sasaran keberingasan. Sekolah berubah menjadi medan perang. Pengepungan bukan sekadar metafora dalam film ini—Edwin benar-benar terjebak dalam situasi yang membawanya kembali ke trauma masa kecilnya.
Analisis: Penuh Adrenalin dan Ketegangan yang Tak Berakhir
Dari awal sampai akhir, Pengepungan di Bukit Duri tidak menahan diri dalam menunjukkan betapa brutalnya dunia yang sedang digambarkan. Adegan-adegan kekerasan terasa sangat nyata, umpatan-umpatan dilontarkan dengan bebas, dan atmosfer film ini penuh ketegangan. Tapi, semua itu tidak datang begitu saja—ada alasan kuat di balik pemilihan gaya yang keras ini.
Joko Anwar seolah ingin memperlihatkan bagaimana kekerasan bisa menjadi alat dalam mengontrol masyarakat. Di sini, isu rasial bukan hanya latar belakang cerita, tetapi juga menjadi inti dari konflik utama. Seperti dalam Kala dan A Copy of My Mind, di mana politik dan ketidakadilan sosial menjadi fokus utama, kali ini kita melihat bagaimana kebencian diturunkan dari generasi ke generasi dan terus dimanfaatkan oleh pihak tertentu.
Menariknya, Joko Anwar tidak memilih sudut pandang elit politik atau pemerintahan dalam menyajikan cerita ini. Dia lebih memilih melihat dari bawah—dari masyarakat biasa yang terjebak dalam siklus kebencian, dan dari sudut pandang seorang guru yang berusaha bertahan di tengah lingkungan yang sarat akan kekerasan.
Kalau kamu mengharapkan film yang santai dan mudah dicerna, mungkin kamu harus bersiap sebelum menonton Pengepungan di Bukit Duri. Ini adalah film yang penuh aksi, sarat dengan adegan beringas, dan dihiasi dengan umpatan yang meledak-ledak. Tapi justru di sini letak kekuatannya—ketegangan yang tidak pernah turun, seolah memaksa penonton untuk terus waspada.
Sisi teknis dalam film ini pun patut diacungi jempol. Joko Anwar sekali lagi membuktikan bahwa dia sangat paham cara membangun atmosfer yang menekan. Pengambilan gambar oleh Ical Tanjung sukses menangkap setiap detail dari ruang-ruang sempit di sekolah Bukit Duri, memberi kita gambaran betapa pengap dan berbahayanya situasi yang sedang terjadi. Skoring dari Aghi Narottama juga memainkan peran penting dalam memperkuat intensitas film ini.
Namun, film ini bukan tanpa kekurangan. Ada beberapa karakter yang sulit diberikan simpati, atau perannya terasa kurang meyakinkan. Diana, misalnya, sebagai guru konseling kurang terasa sebagai seseorang yang benar-benar berpengalaman dalam bidang psikologi. Karakternya seperti hanya ada di sana sebagai pelengkap tanpa pengaruh besar terhadap cerita.
Morgan Oey sebagai Edwin tampil sangat baik dan memberikan performa yang mencolok di film ini. Ini bisa menjadi salah satu titik balik dalam karirnya, karena di sini dia benar-benar tampil maksimal. Sementara Omara Esteghlal sebagai Jefri dan Dewa Dayana sebagai Geri menampilkan karakter yang mirip dengan peran mereka sebelumnya—beringas dan penuh amarah. Namun yang paling menarik adalah Satine Zaneta sebagai Doti, anggota geng Jefri yang memiliki daya tarik tersendiri dalam film ini. Dia berhasil mencuri perhatian dengan karakter brutalnya.
Rating Pribadi: 8/10
BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE
Artikel Terkait
-
Makna Satya Lencana Kebaktian Sosial, Tanda Kehormatan untuk Jasa Hotma Sitompul
-
Pengepungan di Bukit Duri: Bukan Film Biasa, Tapi Tamparan dan Peringatan
-
Bersama BRI, Inilah Kisah Ulos Penggerak Perempuan Tapanuli Utara yangInspirasi Indonesia
-
Mensos Buka Suara Soal Penolakan dan Proses Alur Pengusulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
-
Daftar Pemeran Pengepungan di Bukit Duri, Ada Anak Artis
Ulasan
-
Menyelami Rasa Sedih dan Lega Secara Bersamaan dalam Novel Eleanor
-
Mengharu Biru, Film Jepang '1st Kiss': Antara Balada Cinta dan Penyesalan
-
Review Serial Daredevil Born Again: Aksi Epik Melawan Penjahat dan Sistem
-
Suka dengan Jumbo? Intip 5 Film Animasi dari Indonesia yang Gak Kalah Seru!
-
Sederet Anime dan Manga Ini Mengadaptasi Nama Tokoh Sejarah, Sudah Pernah Nonton?
Terkini
-
3 Bos Dungeon Terkuat di Solo Leveling yang Berhasil Dikalahkan Sung Jinwoo
-
Bertajuk Lucid, Chenle NCT Akan Merilis Album Solo Spesial Pada Bulan Mei
-
Tale of the Land Juara! Percaya Film Fantasi Punya Tempat di Hati Penonton?
-
PS Barito Putera Merana, Persis Solo Sukses Unjuk Gigi di Banjarbaru
-
Rayakan Debut 10 Tahun, SEVENTEEN Bersiap Rilis Album Bertajuk Happy Burstday