Pernah dengar mayat yang harusnya sudah tinggal di kuburan namun masih jalan-jalan dan mengobrak-abrik kantor media massa sebab keberatan dengan pemberitaan mengenai dirinya?
Pernah tahu kisah mayat yang masih sempat menguras dendam hati dan mengungkapkan seisi dada ke komputer di kantor media massa untuk dicetak di koran dengan ditemani penjaga malam yang ternyata juga mayat hidup?
Inilah cerita mayat egois yang mengusung prinsip tidak akan kembali ke alam kubur sebelum misi di alam dunia selesai dengan tuntas. Inilah cerpen Mayat yang merupakan judul dari salah satu buku kumpulan cerpen Klop karya Putu Wijaya.
Dikisahkan, pada malam yang gelap sebujur mayat kaku mengeluh. Ia mengeluhkan keadaan yang membuat dirinya berada di posisi tidak menguntungkan. Keluhannya tersebut dapat ditemukan dalam paragraf pertama yang agak panjang.
"Aku yang mati. Aku yang terdera. Aku yang menjadi korban. Aku menderita. Aku yang sudah kesakitan. Aku yang menanggung seluruh kerugian. Aku diberitakan, diperdebatkan, dipergunjingkan, diselidiki dan dipakai sebagai contoh, sebagai objek untuk berbagai penyelidikan, analisis-analisis yang menyebabkan banyak orang menjadi terkenal dan kaya. Aku yang sudah mencetak duit buat banyak orang yang memanfaatkan dengan cerdik seluruh peristiwa yang dahsyat ini sehingga mereka menjadi terkenal, terkemuka, memegang posisi puncak, dan akhirnya menang. Tetapi, aku sama sekali tak kebagian apa-apa. Aku tetap saja hanya sebuah mayat yang sepi. Yang akhirnya tak lebih penting dari segala manipulasi orang-orang tersebut. Ini sama sekali tidak adil!" (Halaman 1).
Mayat itu juga mengeluhkan peradaban yang sudah merosot. Kebudayaan yang kini tidak lagi membuahkan keluhuran, namun justru membuat manusia semakin tamak dan kurang peduli terhadap manusia lainnya.
Mayat tersebut bangkit dari kebisuan dan kekakuannya. Ia mulai menyusun protes. Ia menggugat perilaku yang semena-mena, yang jelas sekali memperlihatkan keserakahan manusia.
"Dunia sudah menjadi sebuah pasar besar. Semua orang berdagang. Dan dagang sendiri bukan lagi menjadi ajang tukar-menukar jasa dengan saling menguntungkan, saling bergotong-royong, melainkan sudah menjadi perang siasat untuk menipu dan membuat bangkrut orang lain. Kehidupan sudah rusak." (Halaman 2).
Selanjutnya, mayat itu mendatangi kantor media massa yang memuat secara lengkap cerita dirinya dan mengalami cetak ulang. Selama di perjalanan, ia mengganggu setiap orang yang lewat dengan berbagai keluhan, kemudian sindiran-sindiran, dan akhirnya menjadi umpatan-umpatan yang memekakkan telinga.
Setibanya di kantor media massa yang dimaksud, semua wartawan yang ditemuinya menghindar, menutup hidungnya, mengangkat bahu, dan menunjuk atasannya. Sedangkan atasannya yang paling atas, sibuk menunjuk wakilnya agar meladeni mayat cerewet itu.
Sekretaris redaksi terpaksa membatalkan kepulangannya. Ia mempersilakan mayat itu duduk di depan komputer dan menumpahkan segala keluh-kesahnya.
"Silakan menuliskan semua keberatan Anda terhadap pemberitaan kami. Kalau memang ada yang salah, meskipun kami sudah sangat berhati-hati, kami bersedia untuk meralatnya demi kebahagiaan dan ketenangan Anda di sana." (Halaman 3).
Mayat itu lalu menembakkan seluruh unek-uneknya ke layar komputer. Apa saja yang sudah menyakitkan, menyinggung, yang berasa tidak adil, seluruh ketidakbenaran, bahkan yang mungkin akan menyiksanya di kemudian hari, ia beberkan dengan kata-kata tajam dan berbisa.
Berjam-jam mayat yang mencurahkan segala tuntutannya dengan kata-kata kotor di komputer itu ditemani oleh mayat hidup yang kondisinya jauh lebih sengsara dan menderita daripada dirinya. Tahu derita yang dialami sangat jauh dari derita mayat yang bertugas menjadi penjaga malam di kantor itu, akhirnya semua tulisan sumpah serapah yang telah dituangkan ke komputer di kantor media massa itu ingin ia hapus seluruhnya. Namun tak bisa, sebab semua tulisan di dalam komputer itu sudah diproteksi, sehingga tidak bisa dihapus kembali.
Judul-judul cerita pendek lainnya yang terdapat pada buku kumpulan cerpen ini adalah Jenderal, Merdeka, Kartini, Mawar, Y2k, Konsep, Setan, Siapa, Kroco, KTP, Raja, Kursi, Damai, Indonesia, Kembali, Nyahok, Kutu, dan lain seterusnya.
Pendek kata, Klop merupakan refleksi keprihatinan Putu Wijaya terhadap kondisi sosial negeri ini. Lewat cerpen-cerpennya yang segar dan menggelitik, kita akan menjumpai beragam karakter dan kisah, yang begitu dekat dalam keseharian kita, tetapi kerap luput dari perhatian. Bahkan, bisa jadi kisah kitalah yang tengah diceritakan oleh Putu Wijaya.
Selamat membaca!
Identitas Buku
Judul: Klop
Penulis: Putu Wijaya
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: I, Mei 2010
Tebal: 236 Halaman
ISBN: 978-979-1227-93-3
BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE
Baca Juga
-
Vivo V60 Resmi Rilis, Andalkan Kamera Telefoto ZEISS dan Snapdragon 7 Gen 4
-
Review Buku Indonesia Merdeka, Akhir Agustus 2025 Benarkah Sudah Merdeka?
-
Samsung Segera Kenalkan Galaxy S25 FE, Dibekali Prosesor Exynos 2400 dan CPU 10 Core
-
Vivo X Fold 5 Resmi Masuk Indonesia, HP Lipat dengan Durabilitas Tinggi serta Engsel Kuat dari Baja
-
Menganalisis Ideologi Negara dalam Buku Ragam Tulisan Tentang Pancasila
Artikel Terkait
Ulasan
-
Review Film The Exit 8: Ketakutan Nyata di Lorong Stasiun yang Misterius
-
Membaca Ulang Kepada Uang: Puisi tentang Sederhana yang Tak Pernah Sederhana
-
Review Film Siccin 8: Atmosfer Mencekam yang Gak Bisa Ditolak!
-
Film Man of Tomorrow, Sekuel Superman Tayang Tahun Depan?
-
Kisah Manis Pahit Persahabatan dan Cinta Remaja dalam Novel Broken Hearts
Terkini
-
Pede Tingkat Dewa atau Cuma Sesumbar? Gaya Kepemimpinan Menkeu Baru Bikin Netizen Penasaran
-
Lebih dari Sekadar Keponakan Prabowo, Ini Profil Rahayu Saraswati yang Mundur dari DPR
-
Bukan Sekadar Coretan, Inilah Alasan Poster Demo Gen Z Begitu Estetik dan Berpengaruh
-
Nabung Itu Wacana, Checkout Itu Realita: Melihat Masalah Nasional Gen Z
-
Bukan Cuma Anak Menkeu, Ini Sumber Kekayaan Yudo Sadewa yang Dihujat Netizen