Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Ardina Praf
Buku Teething (goodreads.com)

Teething karya Megha Rao menjadi salah satu novel yang cukup unik. Bukan novel biasa, bukan pula kumpulan puisi konvensional.

Teething adalah perjalanan emosional yang ditulis dalam bentuk puisi naratif, menjalin cerita dalam syair-syair yang saling berkait, penuh luka, cinta, dan kehilangan.

Meski tidak ada narasi yang mengguncang, tapi buku ini mempu menyentuh perasaan secara lembut lewat syairnya.

Teething dimulai dengan sebuah tragedi. Kochu, seorang anak laki-laki dari Kerala, tertangkap mencium anak tetangganya, sebuah insiden kecil yang meledak menjadi skandal besar.

Beban stigma, rasa takut yang menggerogoti, dan tekanan yang tak bisa ditanggung seorang anak, membuat Kochu memilih jalan paling kelam: mengakhiri hidupnya sendiri.

Bertahun-tahun setelah kepergian sang adik, Achu (kakak perempuan Kochu) menemukan surat terakhir yang ditinggalkannya.

Dari sana, perlahan ia mulai menelusuri jejak-jejak masa lalu, menyusun kembali fragmen memori dan luka yang pernah mereka bagi sebagai keluarga.

Dalam perjalanan itu, Achu mulai menyadari kenyataan yang sempat tak telihat.

Ibunya yang terobsesi denfan pada gereja, ayahnya yang menyimpan banyak rahasia di kamar, dan luka-luka yang selama ini membuat hidup mereka kaku.

Trauma yang selama ini ia pendam, yang membuat mereka menjadi seperti sekarang.

Melalui fragmen-fragmen itu, Teething membawa kita menyelami sisi paling rapuh dari manusia: kehilangan, pencarian makna, dan upaya untuk bertumbuh meski dengan luka yang belum sembuh.

Narasi dalam Teething tidak lurus atau jelas, karena memang bukan itu tujuannya. Cerita ini hadir lewat potongan-potongan puisi yang membentuk kolase emosi—penuh metafora yang tajam dan menyentuh.

Setiap halaman terasa seperti suara yang jujur, kadang marah, kadang patah, kadang diam-diam merindu. Kadang kita bisa merasa terhubung, kadang justru terasing, namun tetap ingin terus membaca.

Yang membuat Teething istimewa adalah bagaimana Megha Rao mengeksplorasi berbagai bentuk cinta.

Cinta yang menyakitkan, yang terlarang, yang merusak, yang tetap kita peluk meski tahu akan melukai kita. Cinta antar saudara, cinta yang bertumbuh dalam rasa bersalah, dan cinta terhadap keluarga yang tidak selalu sehat.

Semua itu digambarkan tanpa menggurui, tapi sangat jujur dan membekas.

Buku ini juga menyoroti bagaimana trauma bisa mengakar dalam tubuh, dan bagaimana luka masa kecil tidak selalu hilang meski waktu berjalan.

Ada bagian-bagian dari buku ini yang begitu sunyi, namun justru di situlah kekuatannya, kesedihan yang tidak meledak-ledak, tetapi menggigit perlahan dan membekas.

Memang, jika mencari alur cerita yang runtut dan jelas, Teething mungkin akan terasa membingungkan.

Ini bukan kisah yang memberimu jawaban di akhir. Ini adalah pengalaman membaca yang seperti menyusuri labirin emosi, di mana potongan-potongan kenangan, rasa sakit, dan harapan terpantul dari dinding ke dinding.

Kadang kita harus berhenti sejenak untuk merenung sebelum melanjutkan halaman berikutnya.

Meski jumlah halamannya tidak banyak, setiap bait dan paragraf terasa berat, padat makna. Meskipun kata-katanya sederhana, tapi maknanya sangat mendalam.

Megha Rao berhasil membuat pembaca merasa tidak sendirian dalam rasa takut dan luka mereka.

Teething bukan bacaan yang mudah. Tapi justru karena itulah ia penting. Ia memberi ruang bagi suara-suara yang kerap terpinggirkan, luka-luka yang sulit dibicarakan, dan cinta-cinta yang tidak mendapat tempat dalam definisi umum.

Buku ini seperti pengakuan yang jujur, dan sepotong hati yang dipersembahkan kepada siapa saja yang pernah merasa terlalu berbeda, terlalu rapuh, atau terlalu lelah untuk bicara.

Ardina Praf