Di buku pertamanya, Timun Jelita, kita dikenalkan pada sepasang sepupu yang diam-diam menyimpan luka yang sama, luka akan mimpi yang pernah tumbuh, lalu layu bersama waktu. Buku itu seperti catatan awal: tentang keberanian memulai kembali.
Di Timun Jelita Volume 2, Raditya Dika membawa kita menapaki perjalanan yang lebih jauh lagi. Bukan sekedar kembali bermusik, tapi tentang bagaimana mereka bertahan dalam pilihan itu. Saat kenyataan tidak selalu manis, dan dunia tetap gaduh seperti biasa.
Timun, si akuntan yang hidupnya mengalir begitu saja, tiba-tiba disentuh masa lalu lewat gitar tua milik ayahnya. “Suara gitar itu kayak membuka ruang yang lama terkunci di dalam dada” (hlm. 27). Sebuah ruang yang diam-diam masih penuh rindu akan panggung kecil, akan masa muda yang terasa jujur, akan mimpi-mimpi yang pernah dibisikkan ke langit malam.
Ajakan Timun kepada sepupunya Jelita yang dulu dikenal punya suara khas dan keberanian tampil di mana saja terasa seperti ajakan untuk kembali pulang. Tapi pulang ke mana? Ke lagu-lagu yang dulu sempat mereka simpan? Ke versi mereka yang dulu pernah percaya bahwa karya tulus bisa menyentuh siapa saja?
“Aku mau nyanyi lagi, asal nggak ada yang harus jadi orang lain,” kata Jelita, jujur dan pelan (hlm. 51). Lebih dari sekadar syarat untuk naik panggung lagi, kalimat itu menyentil batas tak kasatmata yang sering kita lewati, ketika kreativitas tumbuh bukan dari hati, tapi sekedar dari tuntutan luar.
Dari situ, Timun Jelita Volume 2 menjelma jadi perjalanan kecil tapi penting. Sebuah kisah tentang dua orang yang kembali memeluk melodi lama, lalu menanamkannya di tempat yang baru: tempat yang lebih tulus, lebih tenang, lebih hening tapi lebih menyentuh. Mereka nggak bicara soal ketenaran. Mereka bicara soal koneksi. Tentang lagu yang bisa jadi pelukan. “Kalau satu lagu kita bisa bikin orang merasa nggak sendirian, itu udah cukup” (hlm. 103).
Cerita ini tidak bergerak cepat. Tapi justru di situlah kekuatannya. Raditya Dika seperti sengaja menahan laju, agar pembaca bisa ikut duduk, mendengar, merenung. Tidak ada adegan dramatis berlebihan. Tidak ada konflik yang meledak-ledak. Tapi ada percakapan-percakapan kecil yang terasa sangat dekat: tentang takut gagal, tentang mengulang kesalahan, tentang orang tua yang tidak pernah selesai menjadi rindu.
Salah satu momen paling mengharukan terjadi ketika Timun tampil seorang diri untuk pertama kalinya, bukan di panggung megah, melainkan di sebuah kafe kecil yang nyaris sunyi. “Selama aku bisa memainkan satu lagu yang membuatku merasa hidup, aku akan terus bermain” (hlm. 213). Kalimat itu jadi semacam pernyataan sikap bahwa mencipta bisa jadi bentuk perlawanan terhadap dunia yang terlalu cepat menilai dan melupakan.
Raditya Dika menunjukkan kematangan dalam merangkai narasi yang tidak hanya mengandalkan kelucuan, tapi juga sarat makna. Ia tidak meninggalkan gaya khasnya yang ringan dan lincah, tapi dalam buku ini, ia lebih sering menunduk dan diam. Ia membiarkan karakter-karakternya berkembang lewat keraguan dan kesunyian. Lewat kalimat-kalimat pendek yang kadang seperti gumaman, tapi justru mengandung banyak rasa.
Buku ini juga bisa dibaca sebagai metafora tentang proses kreatif secara umum. Tentang bagaimana kita yang mungkin pernah punya mimpi atau passion tertentu, akhirnya terpaksa menjauh karena realitas. Tapi mungkin, seperti Timun dan Jelita, kita nggak pernah benar-benar bisa lari. Sebab bagian terdalam dari kita masih bersembunyi di sana, dalam nada-nada kecil yang pernah jadi doa dalam hening. Bagian dari kita masih ingin percaya, meski pelan, meski diam-diam.
Dan kalau ada satu hal yang paling membekas dari buku ini, mungkin itu adalah kesadaran bahwa kita nggak sendirian. Di balik hiruk pikuk dunia, ada yang senyap seperti kita, gamang seperti kita, dan sedang mencoba menyuarakan dirinya kembali.
Oleh karena itu, ketika Timun dan Jelita menulis lagu baru mereka, bukan hanya suara mereka yang terdengar. Tapi juga suara pelan dari banyak orang yang sempat memilih diam. Barangkali, justru suara-suara itulah yang dengan sunyi menuntun kita kembali.
BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE
Artikel Terkait
-
Terombang-ambing dalam Horor dan Realita KDRT dalam Novel Perempuan di Rumah No. 8
-
Ulasan Novel Uang Gawat Darurat:Potret Generasi Muda dalam Jerat Finansial
-
Kisah Mayat Mendatangi Kantor Media Massa dalam Buku Klop karya Putu Wijaya
-
Ulasan Novel The Mortician: Kisah Terlarang Seorang Perias Jenazah
-
Ulasan Novel Viral: Ketika Ketenaran Mengubah Segalanya, Dunia Tak Lagi Sama
Ulasan
-
Teluk Triton, Menyimpan Keindahan Layaknya Surga Tersembunyi di Kaimana
-
Hidup Lebih Bahagia dengan Berpikir Kritis Lewat Buku Makanya Mikir
-
5 Rekomendasi Film untuk Sambut Akhir Pekanmu, Ada The Snitch-The Accountant 2
-
Ulasan Novel Memories of a Name: Jejak Luka di Lorong SMA Polaris
-
Review The Hot Spot: Kala Alien Bantu Teman Atasi Masalah Hidup Sehari-hari
Terkini
-
4 Ide Gaya Kasual ala Kim Yo Hanyang Bisa Ditiru Buat Nongkrong!
-
Film 'Conclave' Umumkan Tayang secara Terbatas di Bioskop Indonesia
-
Sinopsis Khauf, Series India Dibintangi Monika Panwar dan Rajat Kapoor
-
Sudirman Cup 2025: Drawing Grup, Indonesia Masuk Grup D Bersama Denmark
-
4 Gaya OOTD Elegan Shin Min-A, Cocok untuk Acara Formal hingga Semi Kasual