Hikmawan Firdaus | Miranda Nurislami Badarudin
Novel Dia yang Lebih Pantas Menjagamu (DocPribadi/Miranda)
Miranda Nurislami Badarudin

Kalau bicara soal novel Thulaib eth-Thulaib, Dia yang Lebih Pantas Menjagamu terasa berbeda dari novel cinta pada umumnya. Ceritanya nggak cuma soal perasaan antara dua orang, tapi juga soal bagaimana kita belajar menahan diri, menjaga hati, dan memahami batasan—baik hati sendiri maupun hati orang lain. Dari awal sampai akhir, pembaca diajak menyelami perjuangan tokohnya, tapi tanpa terasa menggurui. Gaya bercerita Thulaib eth-Thulaib ringan, santai, dan sangat dekat dengan pengalaman sehari-hari, sehingga mudah membuat kita merasa ikut berada di dalam ceritanya.

Novel ini memulai kisahnya dengan tragedi yang cukup berat: kecelakaan yang membuat tokoh utama, Zuhdan, kehilangan penglihatannya. Bayangan hidupnya yang tenang tiba-tiba berubah, dan rasa frustrasi bercampur rasa penasaran muncul di setiap langkah pemulihannya. Dari sini, pembaca diajak memahami satu hal penting: dalam hidup, cobaan itu nggak bisa dipilih, tapi bagaimana kita menanggapinya yang menentukan siapa kita. Kesabaran, ketabahan, dan penerimaan diri jadi tema yang terasa kental, sekaligus memberi pelajaran tanpa harus terdengar seperti kuliah motivasi.

Kesabaran Menghadapi Cobaan

Perjalanan pemulihan Zuhdan bukan sekadar plot dramatis, tapi juga sarat pelajaran. Dia harus belajar menerima kondisi baru, menyesuaikan diri, dan menghadapi rasa ketidakberdayaan. Sementara itu, sahabat adik keluarganya, Mahiya, tinggal di rumah mereka, ikut merawat dan menemani. Kehadiran Mahiya bikin dinamika cerita jadi hidup, karena di satu sisi ada rasa nyaman dan kebersamaan, tapi di sisi lain ada ketegangan kecil yang muncul dari perasaan Zuhdan yang mulai bangkit.

Hal ini bikin novel terasa realistis. Bukan sekadar cerita cinta biasa, tapi juga menunjukkan bagaimana kesabaran dan ketekunan menghadapi cobaan bisa membentuk karakter seseorang. Pembaca bisa merasakan bagaimana sebuah pengalaman pahit bisa mengajarkan banyak hal tentang kesabaran, empati, dan menghargai orang di sekitar kita.

Cinta yang Tidak Sembarangan

Kalau biasanya novel remaja atau dewasa muda menekankan percintaan yang instan, Dia yang Lebih Pantas Menjagamu justru menekankan pentingnya menahan diri. Hubungan antara Zuhdan dan Mahiya bukan sekadar chemistry atau ketertarikan fisik. Ada proses belajar mengenal diri sendiri dan orang lain, serta memahami batasan moral dan sosial.

Salah satu adegan yang bikin tersentuh adalah ketika Zuhdan mulai menerima kenyataan baru tentang pandangannya. Ia penasaran dengan Mahiya, tapi pesan yang dikirim Mahiya membuatnya tersadar: ada hal-hal yang harus dihargai, ada hati yang harus dijaga, termasuk hati sendiri. Dari sini, pembaca bisa belajar bahwa cinta yang matang bukan hanya soal memiliki, tapi juga soal menghormati, menahan diri, dan menjaga integritas.

Persahabatan dan Dukungan Keluarga

Selain cinta, novel ini menyoroti pentingnya dukungan dari keluarga dan teman. Kehadiran Mahiya, yang tinggal bersama keluarga selama masa pemulihan Zuhdan, jadi lebih dari sekadar subplot. Ia menjadi simbol bahwa kita nggak bisa menghadapi hidup sendirian. Persahabatan dan dukungan keluarga itu nyata, dan bisa jadi penopang paling kuat saat menghadapi masalah.

Interaksi mereka terasa natural. Kadang lucu, kadang menegangkan, tapi selalu menyentuh. Pembaca akan memahami bahwa cinta dan persahabatan itu saling melengkapi. Novel ini berhasil menunjukkan bahwa hubungan sehat itu bukan hanya romantisme semata, tapi juga soal empati, pengertian, dan tanggung jawab.

Pesan Moral di Era Digital

Satu hal unik dari novel ini adalah cara ceritanya menyoroti etika digital. Komunikasi melalui pesan dan foto menjadi bagian penting dari alur cerita. Pesan Mahiya yang membuat Zuhdan terkejut menjadi momen refleksi: pentingnya menjaga kesopanan dan integritas, bahkan dalam komunikasi virtual.

Di zaman sekarang, ketika banyak hubungan dimulai dan dijalani secara digital, pesan ini terasa relevan. Novel ini mengingatkan pembaca bahwa teknologi bisa menyenangkan, tapi juga membutuhkan kesadaran dan tanggung jawab.

Menguatkan Keimanan

Selain aspek sosial dan emosional, nilai keimanan juga terasa kental di novel ini. Godaan dan rasa penasaran yang dialami tokohnya bukan sekadar drama romantis, tapi alat untuk menanamkan kesadaran tentang menjaga diri, hati, dan hubungan dengan Sang Pencipta. Ini membuat buku novel ini lebih dari sekadar kisah cinta: ia menjadi sarana refleksi diri.

Pembaca seakan diajak memahami bahwa cinta dan kesadaran diri berjalan beriringan. Menjaga hati bukan hanya soal moral sosial, tapi juga soal spiritual. Hal ini membuat cerita terasa lengkap dan bermakna, tanpa terasa menggurui atau berat.