Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Miranda Nurislami Badarudin
Poster Film Mickey 17 (Instagram/mickey17)

Mickey Barnes hidup untuk mati. Bukan sebagai metafora puitis, melainkan secara harfiah — dan rutin. Dalam semesta futuristik yang dingin dan kejam, Mickey adalah seorang “Expendable”, manusia yang dengan sukarela mendaftarkan dirinya untuk menjadi pengganti. Ia menjalani misi-misi paling berbahaya dalam upaya kolonisasi planet es bernama Niflheim.

Ketika tubuhnya hancur atau ajal menjemput, klonnya akan “dihidupkan kembali”, lengkap dengan ingatan dan pengalaman sebelumnya. Kini, Mickey sudah sampai pada iterasi ke-17, dan untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya: Apakah aku sungguh hidup? Apakah aku masih manusia?

Mickey 17” adalah film fiksi ilmiah garapan Bong Joon-ho yang sejak awal sudah menjanjikan sesuatu yang lebih dari sekadar hiburan luar angkasa. Sutradara asal Korea Selatan ini bukan nama asing dalam dunia sinema. Lewat “Parasite”, ia mengoyak batas antara genre dan realitas sosial, dan kali ini, ia menyasar langit-langit eksistensi manusia — dengan bumbu humor gelap, absurditas, dan kritik sosial yang menusuk.

Sejak adegan pembuka, film ini menancapkan atmosfer yang unik. Lansekap Niflheim digambarkan dengan keheningan yang memekakkan — hamparan es putih, langit kelabu, dan bangunan logam menjulang yang terasa lebih seperti penjara daripada rumah. Di tengah dunia beku itu, Mickey bangkit dari kloning ke-17-nya, disambut oleh petugas medis dan instruksi baru: tugas berbahaya menanti, dan kematian hanyalah bagian dari prosedur.

Namun kali ini berbeda. Mickey mulai mengalami retakan dalam keyakinannya terhadap sistem. Ia melihat dunia dengan mata baru — bukan sebagai alat, melainkan sebagai makhluk yang rindu makna. Kebangkitan berulang yang semula dianggap “kemudahan” justru membangkitkan keresahan. Jika hidup bisa diulang, lalu di mana letak nilainya? Jika mati tak lagi final, mengapa harus takut?

Robert Pattinson, yang memerankan Mickey, menyuguhkan performa yang mengaburkan batas antara tragedi dan lelucon. Ia menampilkan karakter yang gamang, jenaka, kadang sembrono, namun perlahan-lahan tumbuh menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang menafikan kemanusiaan. Dalam tubuh yang sama, Mickey membawa beban semua versinya — dari Mickey 1 hingga Mickey 17 — dan di sinilah letak kekuatan narasi film ini: menjadikan eksistensi sebagai ladang konflik batin.

Bong Joon-ho tidak hanya menyajikan film yang indah secara visual, tetapi juga kaya dengan lapisan makna. “Mickey 17” adalah alegori tentang dunia modern, di mana manusia sering kali diperlakukan sebagai bagian dari mesin raksasa. Sistem ekonomi, sosial, dan politik — dalam bentuk yang ekstrem — menjadi representasi dari “koloni” yang dikritik film ini. Mickey adalah kita: individu yang digerus sistem, diukur dari fungsi, dan mudah tergantikan.

Visual film ini, meskipun tidak terlalu bergantung pada efek komputer mutakhir, berhasil membangun suasana alien yang meyakinkan. Niflheim bukan hanya planet asing; ia adalah metafora dunia yang kehilangan kehangatan. Desain produksinya tajam dan terukur, menciptakan ruang yang terasa hampa namun sarat tekanan.

Namun, “Mickey 17” tidak luput dari kekacauan. Bong seolah ingin menyampaikan terlalu banyak dalam durasi terbatas. Tema kloning, kolonialisme antariksa, nilai hidup, dan perlawanan individu tumpang tindih dalam alur yang kadang terputus-putus. Beberapa penonton mungkin merasa bingung dengan arah cerita, atau kecewa karena karakter pendukung tidak dikembangkan dengan maksimal. Tapi justru di sinilah Bong Joon-ho menyisipkan realisme: hidup tidak selalu terstruktur, dan jawaban atas pertanyaan eksistensial pun jarang datang dalam bentuk yang rapi.

Di akhir film, Mickey tidak menemukan solusi pasti, dan kita sebagai penonton pun tidak diberikan kepastian. Namun ada satu hal yang jelas: kehidupan, meski bisa diulang, tidak akan pernah sama. Setiap pengalaman, meski pahit, membawa bekas yang tak bisa dihapus. Mickey 17 mungkin klon, namun ia tetap membawa kehendak dan pilihan. Dan pilihan itu, sekecil apapun, adalah inti dari kemanusiaan.

Mickey 17” bukan tontonan ringan yang bisa dinikmati sambil lalu. Ia adalah perjalanan ke dalam absurditas logika, tempat di mana hidup dan mati kehilangan batas. Lewat film ini, Bong Joon-ho mempertanyakan bukan hanya masa depan manusia, tapi juga masa kini kita: apakah kita sungguh hidup, atau hanya menjalani perintah tanpa pernah bertanya mengapa?

Di luar angkasa yang membeku, Mickey menemukan api kecil dalam dirinya. Sebuah pemberontakan senyap terhadap dunia yang menuntut ia mati tanpa makna. Dan api itu, mungkin, adalah hal paling manusiawi yang bisa dimiliki siapa pun — bahkan oleh klon ke-17. 

Miranda Nurislami Badarudin