Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Inggrid Tiana
Film Perfume (IMDb)

Film "Perfume: The Story of a Murderer", yang diadaptasi dari novel Patrick Suskind tahun 1985, disutradarai oleh Tom Tykwer dan rilis pada tahun 2006.

Film bergenre fantasi ini bercerita tentang Jean Baptiste (Ben Whishaw), yang lahir di tengah tumpukan sampah ikan di pasar kumuh kota Paris pada tahun 1738. Ibunya melahirkannya di bawah gerobak jualannya, lalu meninggalkannya karena menyangka ia akan mati seperti bayi-bayi sebelumnya.

Namun, suara tangisan pertamanya menyelamatkan hidupnya sekaligus membawa kematian bagi ibunya, yang dihukum mati karena tuduhan penelantaran.

Dari detik itu, Jean Baptiste hidup dengan satu anugerah, yakni penciuman yang sangat tajam. Di dunia yang penuh dengan aroma busuk, ia justru menemukan kehidupannya. Baginya, aroma adalah segalanya. Dunia yang bagi kita terlihat dengan mata, bagi Grenouille terlihat lewat hidungnya.

Review Film Perfume

Di film ini, sang sutradara berhasil menerjemahkan genre yang tak biasa ke layar dengan paduan sinematografi yang memikat, narasi mendalam, dan atmosfer yang intens.

Film ini menggambarkan masa kecil Jean Baptiste yang penuh kesengsaraan. Ia tumbuh di panti asuhan, dianggap aneh, dan dibenci anak-anak lain. Sejak kecil, ia mampu mengenali aroma sekecil apa pun dan menavigasi dunia hanya melalui penciuman.

Saat remaja, ia dijual ke sebuah tempat penyamakan kulit, tempat yang keras dan penuh penderitaan. Namun, hidupnya berubah saat pertama kali ia mencium aroma seorang gadis penjual buah di kota Paris.

Gadis itu menjadi objek obsesi pertamanya. Ia tidak ingin menyakitinya, namun secara impulsif membunuhnya karena ingin memiliki aroma tubuh sang gadis. Dari kejadian inilah, obsesi Jean Baptiste dimulai. Ia menemukan cara untuk mengawetkan aroma manusia, terutama aroma perempuan yang ia anggap sebagai bentuk tertinggi dari keindahan.

Jean Baptiste kemudian bertemu dengan Baldini, seorang perfumer tua yang mulai kehilangan pamor. Di sinilah ia belajar seni membuat parfum. Ia menguasai segala teknik dan mengenal teori membuat parfum.

Namun, hasratnya lebih besar dari sekadar menciptakan parfum biasa. Ia ingin menciptakan parfum terbaik di dunia yang mampu memikat siapa pun. Untuk itu, ia harus menangkap aroma wanita secara harfiah.

Perjalanannya membawanya ke kota Grasse, pusat industri parfum di Prancis. Di sana, ia menggunakan teknik kuno untuk mengekstrak aroma dari tubuh manusia. Ia mulai membunuh gadis-gadis muda, satu per satu, demi mengumpulkan 12 aroma yang akan menjadi dasar parfum agungnya.

Target terakhirnya adalah Laura, putri seorang bangsawan kaya. Ia percaya aroma gadis ini akan menjadi elemen ke-13 yang membuat parfumnya sempurna.

Apa yang membuat film ini begitu menarik adalah bagaimana aroma yang tidak bisa ditampilkan secara langsung di film diwujudkan melalui visual yang begitu mendetail.

Sang sutradara menggunakan teknik kamera khusus untuk menangkap tetes minyak, bulu-bulu halus, buah membusuk, hingga wajah-wajah manusia dengan sangat dekat. Semua itu membuat kita seolah-olah bisa mencium aroma yang digambarkan.

Namun, film ini bukan hanya soal aroma. Ini adalah kisah tentang kesendirian, dan pencarian akan eksistensi. Jean Baptiste adalah tokoh yang hampir tidak berbicara, namun kita bisa merasakan kekosongan emosionalnya.

Ia tidak mengerti cinta, tidak mengenal kasih sayang. Ia hanya memahami dunia melalui hidungnya. Ketika ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki aroma, ia merasa tidak memiliki identitas.

Setelah menciptakan parfum sempurna dari mayat gadis-gadis itu, Jean Baptiste tertangkap. Namun saat akan dihukum mati di hadapan massa, ia menggunakan parfumnya. Hanya dengan beberapa tetes, seluruh kerumunan menjadi histeris, kagum, bahkan menyembahnya. Ia membalikkan hukuman mati menjadi pengampunan hanya dengan aroma.

Meski demikian, Jean Baptiste tetap merasa kosong. Ia tahu bahwa pengakuan dan cinta yang ia dapatkan bukanlah cinta sejati. Akhir film ini mengejutkan, yakni Jean Baptiste kembali ke tempat asalnya dan membasahi tubuhnya dengan seluruh parfum ciptaannya.

"Perfume" bukanlah film biasa, melainkan menggabungkan elemen sejarah, thriller psikologis, dan dongeng kelam. Jean Baptiste adalah karakter yang mengerikan, namun kita tidak bisa sepenuhnya membencinya. Ia adalah simbol dari manusia yang terobsesi dengan kesempurnaan dan pengakuan, namun gagal memahami cinta dan kemanusiaan.

Sang sutradara membiarkan penonton menentukan sendiri apakah Jean Baptiste adalah monster, seniman, atau korban dari dunia yang tak pernah memberinya kasih sayang. Dan dalam dunia yang sering kali hanya menilai dari apa yang terlihat.

Film ini mengingatkan kita bahwa aroma seperti emosi dan kenangan tak kasat mata, bisa sangat kuat dan abadi. Jika kamu mencari tontonan menarik yang tak biasa, film ini sangat direkomendasikan untuk kamu tonton.

Inggrid Tiana