Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Rion Nofrianda
Melancong ke bangunan bersejarah istana Maimun Medan (Dok.pribadi/Rion Nofrianda)

Di tengah riuhnya Kota Medan yang terus bergerak, ada satu titik diam yang memikat siapa pun yang menjejakkan kaki di sana. Istana Maimun begitu namanya. Megah, kuning keemasan, berdiri anggun di Jalan Brigjen Katamso, seolah tak goyah meski zaman terus berubah. Tak perlu merogoh kocek dalam-dalam untuk masuk. Hanya sepuluh ribu rupiah, dan Anda pun bisa melangkah ke masa lalu yang tertulis dalam tiap detail bangunan ini.

Dari luar, pesona Istana Maimun sudah mencuri perhatian. Warna kuning yang membalut hampir seluruh dindingnya bukanlah sembarang pilihan. Dalam budaya Melayu, kuning adalah lambang kehormatan, kemuliaan, dan kekuasaan. Ia adalah warna raja. Maka tak heran, setiap sisi istana ini menyuarakan kejayaan Kesultanan Deli yang dulu pernah begitu disegani. Dengan gaya arsitektur campuran antara Eropa, Timur Tengah, India, dan tentu saja Melayu, bangunan ini seperti kolaborasi budaya yang menjelma dalam bentuk kayu dan batu.

Begitu melangkah ke dalam, udara hangat langsung menyambut. Tidak pengap, tapi sarat aroma kayu tua yang seolah membawa pengunjung menyusuri lorong waktu. Langkah demi langkah, ruangan demi ruangan, semuanya berbicara tanpa suara. Ada lukisan-lukisan tua para raja yang menatap tenang dari dinding. Wajah-wajah berwibawa yang tidak hanya mengisi ruang, tapi juga seolah menuturkan kisah tentang kekuasaan, ketegasan, dan masa-masa kejayaan.

Di ruang utama, berdiri dengan gagah singgasana kerajaan yang dilapisi kain kuning emas, dijaga oleh balustrade dan pernak-pernik kebesaran. Di sanalah dahulu Sultan menerima para tamu, membahas urusan negeri, atau sekadar menegaskan bahwa dialah pemegang kekuasaan tertinggi. Singgasana itu bukan sekadar perabot, tapi simbol yang mencerminkan tatanan adat dan kekuasaan. Tak sedikit pengunjung yang terpukau oleh kemegahannya, lalu mengabadikannya dalam foto seolah mereka pun bagian dari sejarah yang pernah ada.

Tak jauh dari singgasana, berdiri sebuah kursi yang ukurannya nyaris tak masuk akal. Kursi ini tidak untuk sembarang orang. Dulu, hanya para bangsawan atau tamu kehormatan yang boleh duduk di sana. Sekarang, kursi itu menjadi salah satu ikon di dalam istana, menyimpan aura keagungan yang masih terasa meski tak lagi digunakan. Siapa pun yang melihatnya akan mafhum inilah lambang betapa tinggi kedudukan raja di mata rakyatnya.

Tapi Istana Maimun bukan hanya bangunan kosong yang diisi benda mati. Di sela-sela tiangnya yang kokoh, di bawah langit-langit tinggi yang masih mempertahankan ornamen klasik, hidup cerita-cerita yang terus dilestarikan. Para pemandu wisata di sana bisa menceritakan bagaimana istana ini dibangun pada 1888 atas perintah Sultan Ma’mun Al Rasyid, dan selesai dalam waktu tiga tahun. Mereka bisa membisikkan cerita tentang hubungan Kesultanan Deli dengan Belanda, tentang masa-masa ketika istana ini menjadi pusat kekuasaan, sekaligus jantung budaya Melayu di Sumatera Timur.

Di sepanjang koridor, aneka souvenir berjejer. Bukan sekadar oleh-oleh, tapi juga representasi dari kebanggaan budaya yang tak ingin dilupakan. Ada miniatur istana, kain tenun bercorak Melayu, keris replika, hingga aneka aksesori bernuansa kuning emas. Beberapa pengunjung tertarik menyewa pakaian adat, lengkap dengan songkok dan selendang, untuk berfoto di dalam istana. Sekali klik, dan mereka pun seolah menjadi bagian dari narasi kerajaan yang elegan dan penuh wibawa.

Yang tak kalah memikat adalah suasana dalam istana yang tetap terjaga rapi dan bersih. Meja-meja tua tetap mengilap. Lantai kayu yang sudah berusia ratusan tahun masih kuat menopang langkah demi langkah para wisatawan. Tak ada debu yang mengganggu pandangan. Semuanya dirawat dengan cinta dan rasa hormat seolah ada janji yang terus dijaga untuk tidak membiarkan sejarah ini terhapus begitu saja.

Di luar bangunan utama, halaman istana terbentang luas. Rumput hijau merata, pohon-pohon besar memberi teduh, dan anak-anak kecil berlari-lari kecil sambil membawa es krim. Kadang, di akhir pekan, terlihat rombongan pelajar berdiri di bawah pohon, mendengarkan guru atau pemandu menjelaskan sejarah dengan penuh semangat. Suasana ini menyenangkan, sederhana, dan sangat manusiawi. Ada kehidupan yang terus berdenyut di tempat yang penuh kenangan ini.

Istana Maimun bukan hanya destinasi. Ia adalah pelajaran hidup. Ia bukan sekadar tempat untuk melihat arsitektur kuno atau membeli cinderamata. Ia mengajarkan tentang pentingnya menjaga warisan, tentang identitas yang tidak boleh dilupakan. Melihat singgasana emas dan lukisan para raja bukan hanya soal estetika, tapi tentang menyadari bahwa negeri ini pernah memiliki peradaban besar, pemimpin bijak, dan kearifan lokal yang luar biasa.

Kunjungan ke Istana Maimun memberikan kesan yang lebih dari sekadar "sudah pernah ke sana." Ia menawarkan pengalaman batin yang dalam. Kita diajak menunduk sejenak, menyadari bahwa di balik modernitas kota besar, masih ada ruang untuk menghormati masa lalu. Tiket sepuluh ribu rupiah itu seolah tak sepadan dengan nilai yang ditawarkan. Karena yang kita dapatkan bukan hanya informasi, tapi juga rasa rasa hormat, rasa ingin tahu, rasa bangga.

Dan ketika akhirnya keluar dari istana, menatap ke belakang satu kali lagi sebelum benar-benar pergi, ada sejumput haru yang tertinggal. Mungkin karena tak semua kota memiliki jejak sejarah sejelas ini. Mungkin karena suasana di dalamnya seperti memeluk kita dalam diam. Atau mungkin karena kita tahu, Istana Maimun akan tetap ada menunggu kedatangan pengunjung berikutnya, dengan cerita-cerita baru untuk dibisikkan lewat dinding-dinding tuanya.

Begitulah pesona Istana Maimun sederhana, bersahaja, tapi menyimpan kekuatan luar biasa untuk menghubungkan masa lalu dan masa kini dalam satu kunjungan yang tak akan mudah terlupakan.

Rion Nofrianda