Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Oktavia Ningrum
Ilustrasi Polisi Indonesia (instagram/divisihumaspolri)

Berita viral tentang seorang polisi di Medan yang tertangkap memalak pemotor Rp100 ribu kembali menampar wajah institusi kepolisian kita. Respons dari atasan? Demosi ke luar daerah. Ya, hanya dipindahkan tugas. Tidak ada proses pidana, tidak ada pemecatan, tidak ada pertanggungjawaban hukum yang layak.

Ini bukan hanya persoalan etika, tapi soal hukum. Dan memalak, apalagi dilakukan oleh aparat penegak hukum, adalah tindak pidana. Pasal 368 KUHP tentang pemerasan menyatakan bahwa siapa pun yang mengambil barang (termasuk uang) dengan ancaman atau paksaan, dapat dipidana hingga sembilan tahun penjara.

Maka, jika yang melakukannya adalah polisi, seharusnya hukumannya lebih berat, bukan lebih ringan.

Demosi: Sanksi Ringan untuk Pelanggaran Berat?

Dalam konteks militer atau kepolisian, demosi memang salah satu bentuk hukuman disiplin. Namun, demosi tidak menghapus unsur pidana.

Jika seorang polisi melanggar hukum pidana, ia harus diproses secara ganda: sanksi etik dan sanksi hukum. Sayangnya, yang sering terjadi justru pemakluman. Sanksi internal dijadikan tameng untuk menghindari jeratan hukum formal.

Dan ini bukan kasus pertama. Sudah terlalu banyak contoh di mana oknum polisi terlibat pemalakan, suap, hingga kekerasan, namun cukup “diamankan” lewat mutasi atau demosi.

Besok-besok, mereka bisa naik pangkat lagi. Bahkan bisa jadi pemimpin di tempat baru. Bayangkan: pemalak menjadi pejabat penegak hukum.

Ada Polisi Baik, tapi Tidak Cukup

Kita semua tahu bahwa tidak semua polisi itu buruk. Banyak anggota polisi yang menjalankan tugas dengan integritas dan keberanian. Tapi kebaikan tidak akan pernah cukup jika tidak melawan keburukan di sekitarnya.

Jika polisi-polisi baik tetap diam, tetap berteman akrab dengan rekan pemalak, tetap membiarkan praktik-praktik ilegal berlangsung—maka publik berhak bertanya: apa bedanya?

Di sinilah kita perlu revolusi moral dalam tubuh kepolisian. Polisi yang benar harus berani marah, berani jijik, dan berani menyingkirkan mereka yang menyalahgunakan kewenangan. Tidak cukup hanya disiplin internal. Publik butuh transparansi dan kepastian hukum.

Institusi yang Butuh Keberanian, Bukan Perlindungan

Pertanyaannya sekarang: kenapa institusi kepolisian begitu lemah menindak pelanggar? Apakah karena solidaritas internal? Atau karena adanya sistem “setor menyetor” dan hubungan patronase yang membuat oknum justru dipelihara?

Kalau memang sistem internal takut kehilangan “tangan-tangan kotor” ini, maka bukan reformasi yang sedang dilakukan, tapi pelanggengan sistem bobrok. Institusi hukum seharusnya tidak takut kehilangan anggota yang korup—justru harus merasa rugi jika membiarkan mereka tetap tinggal.

Ketika Polisi Baik Diam, Siapa Lagi yang Bisa Kita Andalkan?

Tak bisa dimungkiri, jumlah oknum polisi bermasalah yang dibiarkan eksis dan bahkan naik pangkat dari waktu ke waktu telah menciptakan iklim yang tidak sehat bagi polisi-polisi yang jujur.

Alih-alih didukung untuk melaporkan pelanggaran, mereka sering merasa akan dibungkam, dipindah paksa, atau bahkan dimusuhi oleh rekan sendiri. Maka, diam menjadi “jalan aman”. Tapi apa harga dari diam itu? Kehilangan kepercayaan publik.

Tidak heran kalau sistem yang buruk ini terus hidup dan diwariskan. Seolah-olah institusi yang seharusnya menegakkan hukum justru menjadi tempat yang paling tidak aman untuk mencari keadilan.

Ironisnya, di depan kantor polisi ada banner besar bertuliskan: "Say No to Pungli", padahal praktik itu justru dilakukan oleh orang di balik meja yang sama. Ini bukan tuduhan kosong, tapi realitas yang terlalu sering kita temui di lapangan.

Digitalisasi Tak Cukup Jika Hati Tetap Korup

Kita perlu akui bahwa era digital memang memberi sedikit harapan. Bayar pajak kendaraan kini lebih transparan, layanan tilang elektronik mengurangi pungli di jalan. Tapi itu hanya menyentuh permukaan, hanya menyelesaikan masalah pada sektor administratif. Bagaimana dengan kasus kehilangan motor? Pelecehan seksual? Kekerasan domestik? Pencurian?

Saat warga datang dengan harapan untuk mendapat perlindungan, terlalu sering mereka hanya disodori lembar laporan kosong yang pada akhirnya tidak pernah ditindaklanjuti. Bahkan tidak sedikit warga yang mengaku diminta biaya tambahan untuk “mempercepat proses”. Sungguh mencederai logika dan nurani.

Laporan Jadi Formalitas, Bukan Upaya Penegakan

Mari jujur: banyak laporan masyarakat hanya menjadi pelengkap administrasi. Bagian dari statistik tahunan yang dilaporkan ke atasan, bukan bagian dari proses pencarian keadilan. Masyarakat diminta percaya pada sistem yang bahkan tidak mempercayai niat mereka.

Lalu muncul pertanyaan paling mendasar: Jika polisi yang harusnya menjadi pelindung, justru tidak aman untuk didatangi, ke mana lagi warga bisa mengadu? Pada siapa sebenarnya rakyat harus melapor, kalau setiap pintu hukum sudah berat sebelah sejak awal?

Percayalah, publik bukan menuntut polisi menjadi sempurna. Publik hanya ingin kepolisian menjadi tempat aman untuk mencari keadilan. Jika hal itu saja tak bisa dijamin, maka krisis kepercayaan yang ada saat ini bukanlah salah rakyat—tapi tanggung jawab lembaga itu sendiri.

Maka, jika polisi yang baik tidak bersuara, tidak melawan, tidak membersihkan institusinya sendiri—siapa lagi yang bisa?

Oktavia Ningrum