Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Oktavia Ningrum
Berani Tidak Disukai (instagram/@antaaress_)

Buku Berani Tidak Disukai atau judul bahasa Inggrisnya the Courage to Be Disliked karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga sukses meraih best seller sejak pertama kali diterbitkan di Jepang pada 2013.

Buku ini meraih posisi buku terlaris nomor satu di Jepang tahun 2014 dan ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Korea, bertahan selama 33 minggu di daftar buku terlaris. Bahkan hingga kini, buku ini telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa dan menyentuh hati jutaan pembaca di seluruh dunia.

Identitas Buku

  • Judul: Berani Tidak Disukai (Koe o kikasete, dareka ga warau)
  • Penulis: Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Genre: Pengembangan diri, self-help, psikologi
  • Tahun Terbit: 2017
  • Tebal: 352 halaman

Seperti judulnya, Berani Tidak Disukai mengajak kita untuk memiliki keberanian yang jarang dibahas dalam buku pengembangan diri lainnya: keberanian untuk tidak disukai orang lain. Konsep ini mungkin terdengar aneh, bahkan menakutkan, bagi banyak orang yang terbiasa mengejar validasi sosial dan takut akan penilaian negatif.

Berakar pada Psikologi Adlerian

Keistimewaan buku ini terletak pada fondasinya yang kuat dalam psikologi Alfred Adler, seorang psikolog Austria yang sezaman dengan Freud dan Jung. Adler memiliki pendekatan yang berbeda: jika Freud percaya masa lalu menentukan masa depan (determinisme trauma), Adler justru menekankan kebebasan saat ini. Menurutnya, masa lalu hanyalah masa lalu dan tidak memiliki kendali atas siapa kita hari ini.

Adler menekankan bahwa kita bertanggung jawab penuh atas hidup kita sendiri. Fokusnya adalah pada “tujuan” daripada “penyebab” masa lalu. Misalnya, alih-alih berkata, “Aku tidak percaya diri karena dulu sering direndahkan,” Adlerian akan bertanya, “Untuk apa kamu memelihara rasa tidak percaya diri itu sekarang?”

Format Unik: Percakapan Pemuda & Filsuf

Yang membuat buku ini lebih mudah untuk dicerna adalah formatnya yang sederhana namun mendalam: percakapan antara seorang pemuda yang penuh amarah dan kegelisahan dengan seorang filsuf tua yang bijak. Format ini memudahkan pembaca mengikuti alur berpikir, seolah keberatan-keberatan yang kita miliki sudah diantisipasi dan dijawab dengan telaten.

Salah satu kutipan kunci dari buku ini:

Yang bisa kau lakukan dalam hidupmu adalah memilih jalan terbaik yang kau yakini. Penilaian orang lain terhadap pilihan itu bukan urusanmu.

Mengapa Kita Butuh Keberanian untuk Dibenci?

Di era media sosial, banyak orang terjebak dalam “people pleasing”—keinginan untuk disukai semua orang. Buku ini menegaskan bahwa keinginan itu mustahil dipenuhi. Kita harus berani dikecewakan atau bahkan dibenci jika ingin hidup autentik.

Penulis menyebut konsep “pemisahan tugas”: tugas kita adalah menjalani hidup kita sendiri, sementara perasaan orang lain adalah tugas mereka. Jika kita terus-menerus mengatur hidup untuk menyenangkan semua orang, kita akan kehilangan arah dan identitas.

Kontroversi & Tantangan dalam Buku Ini

Beberapa ide dalam buku ini memang sulit dicerna. Salah satunya adalah pernyataan “trauma tidak ada”. Penulis tidak menyangkal keberadaan peristiwa traumatis, tetapi menyoroti bagaimana respon kita terhadap trauma yang menentukan masa depan, bukan traumanya itu sendiri.

Bagi sebagian pembaca, ide ini mungkin terdengar seperti menyalahkan korban. Namun, jika dipahami dengan benar, pesan yang disampaikan adalah: “Kita punya kuasa penuh untuk tidak membiarkan masa lalu mengendalikan kita.”

Kelebihan Buku:

  • Mudah dipahami karena format percakapan.
  • Mengajarkan konsep mindfulness dan keberanian menghadapi diri sendiri.
  • Mematahkan pola pikir lama tentang kebahagiaan.
  • Membantu pembaca lepas dari ketergantungan pada validasi orang lain.

Kekurangan Buku:

  • Beberapa konsep terasa terlalu ekstrem jika tidak dipahami secara menyeluruh.
  • Membutuhkan pembaca yang pikiran terbuka dan siap merenung.

Berani Tidak Disukai bisa dibilang buku yang akan mengguncang cara pandang pembaca tentang hidup. Kadang membuat kita menolak ide-idenya, namun pada akhirnya memaksa kita untuk bertanya: “Apakah aku sudah benar-benar hidup sebagai diriku sendiri?”

Buku ini bukan bacaan sekali duduk. Kita perlu mencerna, merenung, dan—yang terpenting—mempraktikkan konsepnya. Ini bukan tentang menjadi pemberontak, tetapi tentang menjadi diri sendiri dengan keberanian penuh.

Karena, untuk mencintai diri sendiri, kita butuh keberanian untuk tidak disukai.

Oktavia Ningrum