Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Poster Film Three Kilometres to the End of the World / Trei kilometri până la capătul lumii" (IMDb)

Kadang, luka paling perih dan pahit bukan berasal dari tamparan dunia luar, tapi bisa dari orang-orang yang paling dekat; keluarga, tetangga, dan sistem yang kita kenal sejak lahir. 

Itulah yang aku rasakan saat nonton ‘Three Kilometres to the End of the World’ (atau yang lebih dikenal ‘Trei kilometri pân la captul lumii’), film terbaru dari Sutradara Emanuel Pârvu, yang menyayat hati lewat cerita tentang kekerasan, represi, dan keputusasaan yang tumbuh dalam senyap.

Diputar perdana di ajang Cannes Film Festival 2024, film ini merupakan salah satu potret paling brutal dari realita sosial yang masih menyelimuti banyak komunitas konservatif, dengan gaya sinema yang tajam dan satir. 

Tampak menarik, ya? Buat yang penasaran dengan detail kisahnya, sini merapat!

Sinopsis Film Three Kilometres to the End of the World

Dikisahkan Dragoi (diperankan Bogdan Dumitrache), pria kampung yang hidupnya nyaris tenggelam sama utang. 

Dia tinggal di desa terpencil di delta Danube, di mana struktur sosial masih dikuasai kaum berkuasa lokal, aparat yang setengah korup, dan institusi agama yang kaku.

Dragoi punya putra remaja, Adi (Ciprian Chiujdea), anak kesayangannya yang dia harapkan bisa masuk akademi militer tahun depan. Namun, harapan itu runtuh dalam semalam. Adi ditemukan babak belur setelah dihajar anak-anak dari si rentenir desa (orang yang juga menagih utang Dragoi). 

Awalnya, Dragoi mengira itu hanya cara biadab untuk menekan pembayaran yang ditanggungnya. Eh, ternyata ada alasan lebih menyakitkan: Adi dipukuli karena dipergoki tengah mencium turis pria dari Bucharest.

Di sinilah film memulai gempuran emosionalnya. Polisi nggak menyalahkan para pelaku. Malah menganggap Adi yang bersalah karena ‘kelakuannya’. 

Bahkan, pendeta lokal (dalam adegan paling mengerikan di film ini) setuju melakukan ‘pengusiran setan’ terhadap Adi. Dia diikat, dibungkam, dan dikelilingi orang tua serta lilin, sementara mereka membacakan doa dalam suasana eksorsisme yang lebih menyeramkan dari film horor mana pun.

Dan yang paling menghancurkan hati? Si rentenir bahkan menawarkan untuk menghapus utangnya, asal Dragoi membujuk anaknya mencabut laporan ke polisi.

Ngilu banget mengikuti kisah film ini deh! Sekonservatif itu!

Review Film Three Kilometres to the End of the World

Inginku berteriak! Aku seperti ikut terperangkap di desa itu. Suasana yang digambarkan begitu dingin dan terisolasi. Nggak sebatas geografis, tapi juga secara batin. 

Emanuel Pârvu memang nggak bermain dengan musik dramatis atau dialog panjang, tapi karena kesunyian dan tatapan kosong di sepanjang durasi benar-benar bikin diriku sesak dada.

Aku memang sempat kesal, marah, sama karakter Dragoi. Namun, perlahan, aku juga mengerti. Di balik semua keputusasaannya, dia juga korban sistem. Ada kepiluan saat menyaksikan bagaimana dia lebih menerima anaknya dipukuli karena utang, ketimbang karena ‘orientasi seksualnya’. Karena alasan yang pertama masih bisa diterima sebagai ‘kehormatan laki-laki’. Ketimbang yang kedua, yang mana di mata masyarakat adalah aib yang nggak bisa ditebus. 

Karakter Adi, yang nyaris nggak banyak bicara sepanjang film, jadi pusat emosi paling krusial. Begitulah, lebih banyak diam tapi dari matanya, semuanya berbicara lebih lantang dari kata-kata.

Paham, ya? Naskah film ini penuh detail kecil yang menyakitkan! Bahkan film ini nggak menawarkan penyelesaian manis, nggak ada rekonsiliasi menyentuh, bahkan nggak ada keajaiban yang menyelamatkan. Yang ada hanya kenyataan pahit, luka yang membekas, dan pertanyaan sunyi yang terus mengendap di batin. 

Kurasa, nggak semua orang akan tahan menontonnya. Namun, bagiku ini film yang wajib ada dalam daftar tonton KlikFilm untuk direnungkan.

Skor: 4/5

Athar Farha