Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Poster Film Saint Clare (IMDb)

Aku selalu suka ketika film horor berani menyentuh tema religius. Ada sesuatu yang menggelitik antara iman dan ketakutan yang seringkali melahirkan kisah paling mengguncang. Jadi, saat membaca sinopsis Film Saint Clare, aku sempat berharap banyak. Gimana nggak? Ada remaja perempuan pembunuh berdarah dingin yang menganggap dirinya sebagai penerus Joan of Arc, dengan latar gaya hidup remaja Amerika yang tampak biasa saja. Itu premis yang terdengar segar dan cukup gila lho. 

Disutradarai Mitzi Peirone, dan ditulis bersama Guinevere Turner, Film Saint Clare dibintangi bintang-bintang kece lho, di antaranya:

  • Bella Thorne sebagai Clare Bleecker
  • Rebecca De Mornay sebagai neneknya Clare yang eksentrik
  • Ryan Phillippe sebagai Detektif Timmons
  • Serta aktor pendukung Frank Whaley, Bart Johnson, dan Joy Rovaris

Dengan durasi ±92 menit, film ini menjanjikan kombinasi antara horor, thriller psikologis, dan bubuhan satir. Namun, seperti yang akan aku bahas nanti, janji itu, nggak benar-benar dipenuhi. Ups. 

Sinopsis Film Saint Clare

Perdana tayang di Taormina Film Festival pada 12 Juli 2024, rupanya film ini dibuka dengan suara bisikan, “Segala sesuatu yang kulakukan adalah atas nama Tuhan.” 

Kalimat itu diucapkan sebelum diriku melihat Clare, sang tokoh utama, terbaring di ranjang dalam posisi menyerupai Kristus yang disalib. Bukan tanpa alasan, Clare memang merasa dirinya punya misi suci.

Clare bukan remaja biasa. Dia cerdas, tenang, dan menyimpan rahasia besar sebagai sosok pembunuh. Namun, bukan sembarang pembunuh. Dia hanya mengincar pria-pria jahat. 

Pertama kali melihat aksinya, saat Clare dengan santai naik mobil seorang pria mencurigakan bernama Joe (diperankan Bart Johnson). Saat pria itu menunjukkan niat jahat, Clare tanpa ragu membunuhnya. Lantas Clare mencuci pakaiannya, dan pulang untuk makan malam bersama nenek dan sahabatnya.

Aku pun dibawa menyelami latar belakang Clare, sosok remaja yang memuja Joan of Arc, menyimpan trauma, dan dihantui sama korban salah sasaran bernama Bob (Frank Whaley), yang muncul sebagai semacam suara hati. 

Saat Clare mulai mencurigai bahwa kasus Joe terhubung dengan jaringan penculikan remaja di kota mereka, dia lantas terlibat dalam investigasi pribadi yang mempertemukannya dengan lebih banyak kengerian, dan lebih banyak pria yang menjadi targetnya.

Ngeri, kan? Tapi ….

Review Film Saint Clare 

Aku suka karakter Clare yang dingin dan pintar. Aku bahkan menikmati gaya bicaranya yang sarkastik, khas karakter antihero remaja. Sayangnya, semakin film ini berjalan, aku mulai kehilangan arah. Bukan karena ceritanya rumit, tapi karena film ini sendiri tampaknya bingung ingin menjadi apa.

Film ini mencoba menjadi banyak hal sekaligus: horor bergaya true crime, drama remaja campy ala Scream Queens, thriller vigilante seperti Dexter, hingga kisah spiritualitas yang membahas suara hati dan misi ilahi. Sayangnya, semua itu hanya disentuh permukaannya. Nggak ada satupun gaya yang benar-benar digali dengan konsisten.

Kadang aku merasa seperti sedang nonton Mean Girls, lalu tiba-tiba diseret ke adegan pembunuhan brutal, lalu dibawa lagi ke ruang audisi drama sekolah. Transisinya kasar dan nggak natural, terasa canggung dan setengah matang.

Visual horornya pun kurang ngena. Alih-alih membuatku merinding, banyak adegan justru terasa seperti potongan dari dokumenter kriminal murahan. Niatnya mungkin ingin menjadi satir atau parodi gaya true crime, tapi nggak pernah cukup lucu atau tajam untuk disebut parodi, dan nggak cukup serius untuk jadi horor mencekam.

Aku tahu Bella Thorne bukan aktris yang disukai semua orang, tapi aku pikir dia cocok untuk perannya sebagai Clare. Aura sinis dan ekspresi datarnya ngasih kesan Clare sebagai karakter yang sulit ditebak. Sayangnya, Bella Thorne juga tampak nggak diberi cukup ruang untuk bertransformasi. Dia seperti diminta untuk tetap tenang dan cool sepanjang waktu, hingga karakternya kehilangan emosi. 

Ada satu-dua momen ketika rasa trauma dan kebingungan Clare muncul ke permukaan, terutama saat dia berinteraksi dengan sosok Bob yang menghantui pikirannya. Eh, lagi-lagi, film ini nggak pernah mau menyelami konflik psikologisnya lebih dalam. 

Film Saint Clare sebenarnya punya semua bahan untuk jadi film cult horror yang unik. Cerita remaja perempuan pembunuh dengan misi suci, dibumbui gaya visual yang absurd dan kritik terkait kekerasan laki-laki, itu semua bisa jadi kombinasi memikat. Sayangnya memang kurang mengena. 

Naskahnya terlalu banyak menjejalkan subplot yang nggak selesai. Gaya visualnya tanggung, aktingnya nggak selalu kuat, dan arah ceritanya nggak pernah benar-benar jelas. Film ini seolah-olah ingin jadi film festival yang artistik, sekaligus tontonan remaja yang menghibur, sekaligus horor psikologis yang membekas. Hasil akhirnya? Gagal di ketiganya.

Kalau Sobat Yoursay penasaran, tontonlah!

Athar Farha