Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Raisa (Instagram/raisa6690)
Sherly Azizah

Di tengah perjalanan emosional album Ambivert, lagu "Terserah" hadir sebagai titik pasrah yang menyimpan kekuatan luar biasa. Lirik-liriknya bukan sekadar keluhan patah hati, melainkan sebuah analisis mendalam tentang dinamika hubungan yang tidak sehat.

Ini adalah karya Raisa yang paling jujur dalam mengakui kelelahan, sekaligus paling inspiratif dalam mengajarkan kita kapan harus berhenti. Kata "terserah" yang terdengar remeh diubah menjadi penentu batas: batas antara memperjuangkan cinta dan mempertahankan harga diri.

Kisah ini dibuka dengan pengakuan yang menyakitkan namun relatable, sebuah pengakuan yang sering kita sembunyikan dari orang lain dan bahkan dari diri sendiri.

Raisa bernyanyi, "Di belakang pikiranku. Sebenarnya sudah tahu. Kisah cinta mirip kita. Tak menyentuh selamanya." Lirik ini adalah mirror yang membuat kita tersentak: jauh di lubuk hati, kita sudah tahu hubungan ini tidak akan bertahan.

Lagu ini mendorong kita untuk jujur pada intuisi itu, melepaskan harapan palsu, dan menghadapi kebenaran pahit di depan mata.

Namun, bagian yang paling menguras emosi dan terasa paling nyata adalah saat Raisa menggambarkan perjuangan sepihak.

Ini adalah frustrasi yang diubah menjadi seni: "Kau akhirnya goyah juga. Bukan bertahan bersama. Malah kau juga harus ku yakinkan. Kejutan tengah cerita. Ternyata ini rasanya. Ditinggal berjuang sendirian."

Lirik ini dengan tajam menggambarkan kelelahan total. Ketika kita harus menjadi satu-satunya pendukung, satu-satunya pemadam kebakaran, dan bahkan satu-satunya motivator agar pasangan mau bertahan—di situlah self-respect kita mulai terkikis.

Lantas, tibalah pada puncaknya, ketika kata "Terserah" itu sendiri diangkat. Uniknya, kata ini dipakai untuk mengutip sikap pasif sang pasangan.

Raisa dengan tegas menyuarakan, "Sudahlah. Terus saja bilang terserah. Bisanya kau sekedar pasrah. Bila tak ada yang berubah. Benarkah kau ingin, Menyerah." Ini adalah momen konfrontasi yang menohok.

Kata "terserah" di sini bukan lagi ungkapan sinis, melainkan cerminan dari kegagalan pasangan untuk berkomitmen, yang pada akhirnya memicu pertanyaan mendasar: apakah hubungan ini masih layak diperjuangkan?

Inspirasi sejati lagu ini terletak pada keberanian untuk mengubah kepasrahan pasangan menjadi keputusan diri sendiri. Ketika pihak lain memilih pasif, satu-satunya tindakan aktif yang tersisa adalah melepaskan kendali dan menentukan batas.

Raisa mengajarkan, jika pasangan sudah mengucapkan terserah tanpa upaya perbaikan, maka kita juga berhak meresponsnya dengan terserah pada hasil hubungan, dan mengambil alih kendali atas hidup kita sendiri.

Secara musikal, aransemen yang minimalis dan stripped down membantu menonjolkan bobot lirik. Tidak ada orkestra megah yang menutupi luka; yang ada hanyalah suara Raisa yang murni, membawa beban emosi.

Kelembutan vokalnya di awal perlahan menguat menjadi luapan di bagian klimaks, melambangkan momen ketika seseorang yang tadinya diam-diam berkorban, akhirnya berani bersuara dan melepaskan seluruh frustrasinya.

"Terserah" adalah lebih dari sekadar lagu putus cinta; ini adalah panduan self-help lisan. Liriknya mengingatkan kita bahwa cinta sejati selalu butuh dua orang yang berinvestasi, dan bahwa mempertahankan hubungan yang pincang hanya akan menghabiskan energi kita.

Jika passion dan effort hanya datang dari satu sisi, lagu ini adalah izin untuk mundur dengan anggun.

Pada akhirnya, melalui "Terserah," Raisa berhasil mengubah frustrasi menjadi pembebasan. Ia menunjukkan bahwa pasrah yang sesungguhnya bukanlah menyerah pada cinta, melainkan menyerah pada harapan yang tidak realistis.

Dengan berani mengucapkan terserah pada situasi yang tidak berubah, kita justru menegaskan self-respect dan mengambil langkah pertama menuju pemulihan dan penemuan diri yang baru. Sebuah lagu yang sederhana, namun menyimpan makna yang sangat mendalam dan membebaskan.