Sekar Anindyah Lamase | Ardina Praf
Novel Bunda, Aku Nggak Suka Dipukul (goodreads.com)
Ardina Praf

Novel ini langsung membawa kita ke ranah yang berat tetapi perlu, sebuah kisah tentang luka yang tersembunyi di balik keluarga, tentang anak yang kalah ketika seharusnya dilindungi.

Tokoh utamanya, Aji (Ajisaka), hidup dengan luka fisik dan emosional yang ditorehkan bukan oleh orang asing, tetapi oleh ibunya sendiri.

Kalimat-kalimat seperti “anak pembawa sial”, “anak menyusahkan”, dan “anak tak tahu diuntung” menjadi makanan sehari-hari Aji, bukan dari teman, bukan dari tetangga, tapi dari orang yang seharusnya paling mencintainya.

Kisah tersusun dengan narasi yang cukup langsung: Aji mengungkap keinginannya sederhana, hanya ingin pelukan hangat dari ibunya, ingin menangis di pangkuan ibu seperti anak-anak lain.

Namun ia terus menerima kekerasan fisik dan psikis yang tak kunjung berhenti: dipukul, dijambak, diseret, diinjak; dibentak, dihina, dituduh, dan diancam.

Novel ini menggali bagaimana luka di raga dan jiwa bisa menumpuk, bagaimana seseorang merasa tak berharga, dan bagaimana cinta tetap tumbuh meski lingkungan memperlakukannya sebaliknya.

Novel ini terletak pada keberanian Jaquenza Eden menghadirkan tema kekerasan dalam rumah tangga dan relasi ibu-anak yang rawan dibicarakan.

Ia tidak menyajikan kisah romantis atau nostalgia manis semata, tetapi menyentuh aspek yang sering disembunyikan, ketakutan anak terhadap orang tua, keinginan sederhana untuk dicintai, serta keberhasilan karakter bertahan meski dilukai.

Penyajian kisah Aji terasa jujur dan menyentuh, membuat pembaca seperti melihat ke dalam ruang sunyi yang jarang dibuka.

Laporan penelitian pun menunjukkan bahwa novel ini mengangkat bentuk kekerasan fisik dan psikis, faktor penyebab, serta dampak yang menimpa anak dengan jelas.

Bahasa yang dipakai cukup sederhana namun mengandung kekuatan emosional yang dalam. Jaquenza Eden menggunakan narasi dari sudut pandang anak yang terluka, gaya yang membuat kita merasa dekat dengan Aji.

Ia tidak terjebak pada deskripsi panjang atau metafora berat; sebaliknya, kalimat-kalimat seperti “Aji mau menangis di pangkuan Bunda seperti anak-anak pada umumnya” (parafrase) mengena langsung.

Hal ini membuat novel ini bisa menjadi cermin bagi pembaca yang pernah merasa “tak layak dicintai”.

Kekurangan dari novel ini, menurut pembacaan saya, adalah bahwa alur dan resolusi mungkin terasa agak cepat atau kurang mengeksplorasi sisi perubahan karakter ibunya secara mendalam.

Pembaca mungkin berharap ada dialog panjang tentang mengapa sang ibu bertindak demikian, atau bagaimana ia menyadari kesalahannya secara menyeluruh.

Namun novel ini memilih fokus pada sisi anak, yang juga valid, tapi bisa membuat sebagian pembaca merasa ingin “lebih banyak” dari sisi sang ibu.

Selain itu, beberapa bagian emosional terasa repetisi dari luka-yangsama, sehingga bagi pembaca yang menginginkan aksi atau perubahan dramatis bisa merasa intensitasnya agak stabil dan tak banyak variasi.

Makna yang bisa diambil dari novel ini sangat kuat. Pertama: bahwa kekerasan dalam keluarga tidak selalu terlihat oleh orang luar, ia bisa tersembunyi di balik tutur lembut, tugas harian, dan “keluarga normal”.

Novel ini mengajak pembaca untuk membuka mata terhadap anak-yang terluka, terhadap “anak baik” yang terus bertahan meski dianiaya.

Kedua, bahwa nilai diri seseorang tidak diukur oleh bagaimana ia diperlakukan, atau oleh kata-kata buruk yang pernah ia dengar.

Aji menolak hanya karena “anak pembawa sial”, dalam hatinya, ia tetap sayang dan berharap. Itu menunjukkan kekuatan yang luar biasa.

Ketiga, bahwa cinta terkadang tidak datang dalam bentuk ideal yang kita bayangkan, pelukan hangat bisa tertunda, permintaan maaf bisa lama datang, tapi harapan dan kasih sayang tetap bisa tumbuh bahkan di tanah yang paling kering.

Novel ini memberikan pesan bahwa kita yang merasa tak berharga pun sebenarnya layak untuk dicintai dan untuk menjadi yang terhebat di dunia, sebagaimana penulisnya berharap.

"Bunda, Aku Nggak Suka Dipukul” adalah bacaan yang menantang sekaligus menyentuh, sangat cocok bagi pembaca yang ingin menggali tema relasi keluarga, identitas anak, dan penyembuhan luka emosional melalui literatur.

Bahasa yang jujur, karakter yang bisa dirasakan, dan makna yang mendalam menjadikan novel ini salah satu suara penting dalam literatur remaja Indonesia masa kini.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS