Stranger menceritakan kisah Jesher, seorang pemuda yang telah menjalani kehidupan selama sembilan tahun sebagai bagian dari kelompok kriminal besar.
Setelah memutuskan melarikan diri, Jesher berniat untuk menemukan kembali ayahnya, Tarendra, seorang tokoh yang ternyata menjalankan agen keamanan besar yang jauh dari kehidupan “normal”.
Identitas Jesher yang kelam dan masa lalunya menjadi penghalang utama agar ia diterima oleh sang ayah.
Ketika benang merah masa lalu mulai terungkap, pengkhianatan, konflik keluarga, dunia kriminal, Jesher dihadapkan pada dilema: menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya atau menghadapi konsekuensi dari kebenaran.
Novel ini menggugah pertanyaan, sejauh mana seorang anak bisa diterima kembali setelah terluka oleh pilihannya sendiri, dan apakah masa lalu benar-benar bisa ditinggalkan?
Salah satu kekuatan utama novel ini adalah premisnya yang cukup jarang dijumpai dalam fiksi populer remaja lokal. Dunia kriminal, identitas tersembunyi, dan relasi ayah-anak yang kompleks.
Karakter Jesher bukanlah pahlawan murni ataupun penjahat tanpa rasa, ia berada di daerah abu-abu, yang membuatnya mudah dirasakan sebagai manusia yang nyata.
Konteks ayahnya sebagai tokoh agen keamanan menambahkan lapisan konflik yang kuat antara “kejahatan” dan “keamanan”, antara masa lalu dan harapan untuk masa depan.
Penulis juga mampu menjaga ketegangan narasi ketika rahasia mulai terbuka. Pembaca terus penasaran dengan alasan Jesher bergabung dengan kriminal, dan bagaimana hubungannya dengan Tarendra akan berkembang.
Gaya penceritaan Yanjah terasa kasual namun pagu emosionalnya dalam intensitas menonjol, dialog-dialog antar karakter terasa hidup, serta konflik internal Jesher dikelola dengan cukup baik.
Tidak terlalu banyak narasi panjang yang membosankan; alur bergerak cukup dinamis sehingga pembaca rela terus menggulir halaman demi halaman. Meski demikian, ada beberapa aspek yang bisa menjadi catatan.
Pertama, karena banyaknya unsur dunia kriminal, identitas tersembunyi, konflik masa lalu dan sekarang, beberapa bagian terasa, padat dan agak cepat berpindah-latar, sehingga pembaca mungkin perlu memperhatikan agar tidak tertinggal.
Misalnya, proses bagaimana Jesher benar-benar terlibat kriminal atau bagaimana agen keamanan Tarendra membangun organisasinya kadang diceritakan secara ringkas, padahal potensinya besar untuk ditelusuri lebih dalam.
Kedua, karakter pendukung kadang terasa kurang berbayang dibanding karakter utama: ada beberapa tokoh yang muncul untuk konflik sebentar lalu menghilang tanpa banyak pengembangan.
Bagi pembaca yang menyukai “karakter ensemble” dengan latar masing-masing, mungkin ini menjadi sedikit kekurangan.
Yanjah menggunakan gaya bahasa yang terasa ringan dan mengalir, sangat cocok untuk pembaca muda yang menginginkan bacaan santai tapi punya bobot.
Idiom sehari-hari, kata-kata simpel, dan dialog yang terasa alami membantu pembaca masuk ke dunia Jesher dengan cepat. Namun ketika konflik emosional muncul, penyesalan, koneksi keluarga, identitas, bahasanya bergeser menjadi lebih reflektif dan penuh nuansa.
Misalnya adegan ketika Jesher menyadari bahwa penerimaan ayahnya tidak sekadar tentang fakta, tetapi tentang penerimaan dirinya sendiri, kalimat-kalimat semacam itu terasa puitis tanpa terkesan dibuat-buat.
Novel ini mengajak pembaca merenung, pertama, bahwa, identitas bukan hanya tentang asal atau status, melainkan tentang pilihan dan pertanggungjawaban.
Jesher meski berasal dari dunia kriminal, memilih untuk melarikan diri dan mencari ayahnya, artinya perubahan itu mungkin, penerimaan itu mungkin.
Kedua, hubungan ayah-anak dalam novel ini menyoroti bahwa penerimaan tidak selalu otomatis, terkadang kita harus berani menghadapi masa lalu, mengakuinya, bahkan menebusnya agar bisa diterima kembali.
Tarendra dan Jesher adalah dua sisi dari konflik yang sama, antara kekuasaan/status vs kerentanan/hati manusia.
Terakhir, novel mengingatkan bahwa luka masa lalu bisa menghantui, tetapi juga bisa jadi motivasi untuk berubah. Jesher tidak serta-merta tergelincir di masa lalunya; ia mencoba membangun sesuatu yang baru, sekalipun penuh tantangan.
Meski ada beberapa bagian yang bisa dikembangkan lebih dalam, kekuatan emosional dan konflik yang dihadirkan membuat buku ini pantas menjadi salah satu rekomendasi untuk pembaca Indonesia muda yang ingin lebih dari sekadar kisah romantis biasa.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Potret Kekerasan Ibu-Anak dalam Novel 'Bunda, Aku Nggak Suka Dipukul'
-
Novel The Prodigy: Menemukan Diri di Tengah Sistem Sekolah yang Rumit
-
The Killer Question: Ketika Kuis Pub Berubah Jadi Ajang Pembunuhan
-
"Bakat Menggonggong", Eksperimen Narasi yang Cerdas dan Penuh Nyinyiran
-
Novel Ada Zombie di Sekolah: Ketika Pesta Olahraga Berubah Jadi Mimpi Buruk
Artikel Terkait
-
Potret Kekerasan Ibu-Anak dalam Novel 'Bunda, Aku Nggak Suka Dipukul'
-
Gelora Literasi Bangkit di Big Bad Wolf: Ribuan Pengunjung Serbu Bazar Buku Terbesar
-
Reading Slump? 5 Rekomendasi Graphic Book ini Bisa Kembalikan Minat Bacamu
-
3 Jagoan Alternatif Innova Zenix untuk Keluarga Dana Terbatas, Pasaran Bekasnya Bikin Hati Tenang
-
Novel Bridget Si Ratu Sekolah: Dari Ratu Populer ke Pelajaran Hidup
Ulasan
-
Reading Slump? 5 Rekomendasi Graphic Book ini Bisa Kembalikan Minat Bacamu
-
Potret Kekerasan Ibu-Anak dalam Novel 'Bunda, Aku Nggak Suka Dipukul'
-
Novel Bridget Si Ratu Sekolah: Dari Ratu Populer ke Pelajaran Hidup
-
Ulasan Novel Eavesdrop: Ketika Sahabatmu adalah Teroris Berbahaya!
-
Asal-Usul Mengerikan Pennywise Terungkap dalam Film 'IT: Welcome to Derry'
Terkini
-
Nova Arianto Bawa Empat Pemain Diaspora, Timnas Indonesia U-17 Makin Solid?
-
Apa Itu Jibaro? Kostum yang Dipakai Lisa BLACKPINK di Halloween 2025
-
Bukan Cuma Hiasan, Ini 4 Manfaat 'Sakti' Punya Tanaman di Dalam Rumah
-
Setelah Lebih 15 Tahun, Manga Akatsuki no Yona akan Tamat Desember 2025
-
Kepada FIFA, Bintang Timnas Indonesia U-17 Ungkap 2 Nama yang Jadi Inspirasinya Bermain Bola