Film Pangku adalah debut penyutradaraan Reza Rahadian yang berhasil membuktikan bahwa ia bukan hanya seorang aktor brilian, tetapi juga sutradara yang memiliki mata tajam terhadap realitas sosial dan emosi manusia.
Film ini berlatar di kawasan Pantura (Pantai Utara Jawa) yang panas dan keras, menceritakan kisah Sartika (Claresta Taufan) yang memutuskan merantau demi mencari harapan baru bagi anaknya.
Perjalanan Sartika, seorang perempuan muda yang sedang hamil, adalah awal dari tema utama yang diangkat dalam film ini, yakni tentang pengorbanan seorang ibu tunggal yang harus membesarkan anak yang lahir tanpa seorang ayah.
Sartika rela meninggalkan kota asalnya, demi mencari kehidupan yang lebih baik, dan berakhir di sebuah warung kopi pangku tempat yang menjual kopi sambil menyediakan layanan pendampingan fisik dan emosional bagi pelanggan.
Ironisnya, Sartika terjebak di pekerjaan itu setelah ditolong oleh Bu Maya (Christine Hakim) yang awalnya tampak tulus. Begitu Bayu lahir, Sartika diajak bekerja di warung tersebut demi menghidupi anaknya.
Sangat mirip dengan cerita Juleha dan Ujang di novel Sisi Tergelap Surga karya Brian Khrisna. Baik Sartika maupun Juleha mungkin sama-sama dicap buruk oleh masyarakat karena pekerjaan mereka, namun pekerjaan itulah satu-satunya pilihan yang tersedia untuk bertahan hidup.
Mereka berada di bawah tekanan ekonomi yang ekstrem, di mana pilihan moral menjadi kemewahan yang tidak terjangkau.
Bagi Sartika, setiap sentuhan dengan pelanggan adalah harga mati agar Bayu bisa makan dan memiliki masa depan yang lebih cerah. Film ini dengan jujur memperlihatkan sistem yang memanfaatkan kerentanan perempuan.
Namun, yang membuat kisah Sartika dan Bayu begitu menyayat adalah dilema moral yang tumbuh seiring kesadaran sang anak. Sebagaimana Ujang mulai menyadari dunia Juleha, Bayu (meski masih kecil) juga mulai merasakan pandangan miring terhadap ibunya.
Di tengah kegelapan itu, muncul Hadi (Fedi Nuril), seorang sopir truk yang menawarkan secercah harapan. Hadi melihat Sartika bukan dari pekerjaannya, melainkan dari ketulusannya sebagai ibu.
Hubungan romansa mereka, meskipun penuh risiko, menjadi titik balik yang mendorong Sartika untuk menentang sistem yang mengekangnya.
Perjuangan Sartika pada akhirnya adalah tentang menemukan kembali martabatnya sebagai seorang perempuan dan ibu, serta berani keluar dari lingkaran eksploitasi yang sudah menjeratnya.
Namun, konflik tidak selesai sampai di sana. Penonton akan disuguhkan dengan plot twist lain yang dapat membuat puncak emosional dalam film ini meledak.
Pangku berhasil menyampaikan pesan yang kompleks dengan dialog yang minim namun efektif. Kekuatan film ini justru terletak pada gestur, ekspresi, dan detail visual yang akurat menggambarkan kehidupan keras di Pantura.
Kawasan Pantura digambarkan dengan sangat relalistis, kondisi permukiman kumuh, dengan rumah-rumah bergaya klasik menambah kulitas film ini dari aspek visual.
Selain itu teknik sinematografi yang apik juga turut membuat film ini layak mendapatkan berbagai penghargaan. Tak heran film ini berhasil memenangkan empat penghargaan di Busan International Film Festival (BIFF) 2025.
Empat penghargaan yang diraih adalah KB Vision Audience Award, FIPRESCI Award, Bishkek International Film Festival-Central Asia Cinema Award, dan Face of the Future Award.
Film ini menunjukan potret sosiologis yang getir, juga surat cinta pahit dari Reza Rahadian untuk ibunya, dan juga untuk semua ibu tunggal yang berjuang sendirian di tengah keterbatasan yang ada.
Film ini memberikan pesan bahwa di balik kata "pangku" yang identik dengan kehangatan ibu, bisa tersimpan realitas pahit dan pengorbanan yang tak ternilai harganya.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Mengarungi Trauma Sejarah di Gerbong Arwah: Ulasan Novel Kereta Semar Lembu
-
Harapan Kecil untuk Tetap Hidup dalam Novel As Long as the Lemon Trees Grow
-
Menyingkap Pahit Manis Sejarah Tionghoa Peranakan dalam Novel Ca-Bau-Kan
-
Kisah Haru Sarjana Pertama di Keluarga dalam Novel Dompet Ayah Sepatu Ibu
-
Ketika Buku Dijuluki 'Barang Bukti': Sebuah Ironi di Tengah Krisis Literasi
Artikel Terkait
-
Review Film The Girl with the Needle, Pembunuh Bayi Berkedok Adopsi
-
10 Rekomendasi Film Hari Pahlawan dan Link Nontonnya, Banyak di Netflix
-
Sinopsis Film Jepang 'Hodonaku, Owakare Desu', Dibintangi Minami Hamabe
-
Adili Idola Sukses Digelar, Reza Rahadian jadi Tamu Spesial yang Ikut Roasting Fedi Nuril
-
Bintangi Film Danyang Wingit, Fajar Nugra Deg-degan Akting Bareng Celine Evangelista di Air Terjun
Ulasan
-
Review Film The Girl with the Needle, Pembunuh Bayi Berkedok Adopsi
-
Bidadari Santa Monica: Ketika Warna Kehidupan Bertemu Misteri dan Cinta
-
Review Film Kuncen: Teror Nggak Kasatmata dari Lereng Merbabu
-
Review Film Suffragette, Mengisahkan Perjuangan Hak Pilih Perempuan
-
Time After Time: Perjalanan Waktu yang Mengubah Segalanya
Terkini
-
Stop Duduk Terlalu Lama! Otak Bisa Melemah Hingga Kesehatan Terancam
-
Bahas Momongan, Vidi Aldiano Akui Punya Ketakutan Soal Ini Jika Punya Anak
-
4 Serum yang Aman untuk Perawatan Fungal Acne, Tidak Bikin Makin Bruntusan!
-
Bukan Cuma Kebetulan: Sains Buktikan Anjing dan Kucing Bisa 'Membaca' Perasaanmu
-
Timnas U-17 Merana, Alberto Hengga Akui Pressing Brasil Jadi Ujian Berat