Semua orang di dunia pasti sudah tidak asing lagi dengan benda yang berisi puluhan, ratusan, hingga ribuan halaman berbahan dasar kertas yang bertuliskan berbagai macam topik. Yup, buku namanya. Namun, pernahkan terpikir saat buku menjadi benda paling haram di dunia maupun kehidupan manusia?
Ray Bradbury, penulis asal Amerika Serikat ini berhasil menulis dan membuat karya berjudul Fahrenheit 451 dengan mengangkat kisah serupa . Novel yang dirilis pada tahun 1953 tersebut secara garis besar menceritakan kisah seorang pekerja yang bertugas untuk membakar buku di rumah warga, yakni Guy Montag yang kemudian perlahan dirinya pun mulai penasaran dengan benda bernama buku tersebut hingga mengancam keselamatan dirinya sendiri serta keluarganya.
Selain fokus kepada kisah Guy Montag yang dikejar para petugas karena melanggar peraturan, novel ini juga turut menggambarkan suasana mencekam saat beberapa warga berusaha mati-matian untuk menyelamatkan koleksi buku mereka agar tidak dibakar oleh para petugas. Dengan kata lain, keberadaan buku di dalam ini memang dibuat sebagai sebuah ancaman.
Ray Bradbury selaku penulis berhak mendapatkan pujian karena berkat dirinya para pembaca bisa merasakan gambaran jika mereka hidup di sebuah kota ataupun negara yang memiliki kebijakan yang melarang penduduknya untuk membeli, membaca, ataupun mengoleksi buku.
Rilis di tahun 50-an membuat novel Fahrenheit 451 ini masuk ke dalam kategori novel distopia karena sepanjang halaman memiliki fokus utama untuk mengisahkan gelapnya dunia dan moral manusia. Pasalnya, sepanjang cerita, pembaca akan dibawa dengan kengerian dan kebengisan para petugas kebakaran yang tak segan akan membakar buku beserta rumah penduduk hingga ludes.
Selain distopia, Fahrenheit 451 juga masuk ke dalam kategori novel dengan kisah yang tidak akan tergerus oleh waktu atau eternally. Apa yang disampaikan di dalam novel ini merupakan kejadian yang nyata terjadi, baik di masa lampau, sekarang, ataupun mungkin saja masa yang akan datang.
Sebelumnya, pemusnahan buku atau bibliosida pun pernah dilakukan di masa lampau. Pada tahun 1258, wilayah Baghdad, Irak permah terjadi pemusnahan buku dengan cara dibakar. Pada saat itu pasukan lawan yang berasal dari Mongol menyerang dan membakar perpustakaan Baghdad yang berisi dokumen serta manuskrip penting.
Di Indonesia sendiri, sastrawan Pramoedya Ananta Toer pernah mengalami hal serupa ketika perpustakaan pribadinya dibakar oleh para pasukan militer hingga turut menghancurkan dokumen penting serta naskah dari novel yang tengah ditulis olehnya. Fenomena bibliosida inilah yang turut membuat novel trilogi Gadis Pantai tak kunjung memiliki kisah yang selesai.
Dua kejadian nyata inilah yang kian memperkuat nilai keabadian dari isi novel Fahrenheit 451. Pembakaran ataupun pemusnahan buku yang ada di dalamnya bukan semata kisah fiksi, melainkan fenomena nyata yang pernah terjadi sebelumnya dan sesudahnya.
Tak ayal, Fahrenheit 451 menjadi saksi bisu nan diam yang membuktikan bahwa buku sewaktu-waktu dapat dianggap menjadi sebuah ancaman bagi siapa pun. Sebaliknya, memiliki buku juga sewaktu-waktu bisa saja mendatangkan petaka jikalau kebijakan aneh ataupun kejadian-kejadian lampau terjadi lagi.
Hampir Sempurna, Tapi Tidak
Secara konsep, plot, dan ide, Fahrenheit 451 mampu menawarkan kisah yang menarik bagi para pembaca. Bahkan, dapat menjadi daftar bacaan bagi mereka yang ingin mencoba membaca novel bergenre distopia. Sayangnya, novel ini tidak mengisahkan secara gamblang alasan pembakaran buku dilakukan. Seolah-olah pembaca dibuat berpikir untuk mencari tahu sendiri apa sebab musababnya.
Satu hal lagi, beberapa keberadaan tokoh di dalamnya dibuat oleh Ray Bradbury memang hanya sebagai kismis atau pemanis saja. Mungkin kalau dihilangkan pun tidak akan merusak atau mengganggu kisah pembakaran buku.
Di samping ketidaksempurnaan itu, Fahrenheit 451 sangat layak dibaca. Selain menawarkan kisah pembakaran buku yang bersifat mencekam dan abadi, novel karya Bradbury ini juga menggambarkan kisah futuristik lainnya sehingga pembaca dapat merasakan imajinasi perkembangan teknologi di dalam buku dengan dunia sekarang saat membacanya.
Lalu, untuk Sobat Yoursay apakah ada ketertarikan tersendiri untuk membaca novel lawas ini?
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Gebrakan Awal Tahun, CNBLUE Rilis Full Album dan Siap Lakukan Tur Dunia
-
Suporter SMKN 1 Cilegon Beri Keseruan di Grand Final AXIS Nation Cup 2025
-
Pertandingan Futsal Perempuan: Bentuk Kesetaraan Gender di Bidang Olahraga
-
Di Setiap Pertandingan Futsal, Adakah Masa Depan Gen Z yang Menjanjikan?
-
Menelisik Pentingnya Kekuatan Mental bagi Keberhasilan Para Pemain Futsal
Artikel Terkait
-
Refleksi Keserakahan Manusia dan Kritik Penguasa dalam Antologi Puisi Negeri Daging Karya Gus Mus
-
Ulasan Novel Norwegian Wood: Haruki Murakami Tulis Kenangan Manis dan Pahit Masa Remaja
-
Ulasan Novel Kembara Rindu: Pengingat Lembut Karya Habiburrahman El Shirazy
-
Buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya: Strategi Cerdik Rusdi Mathari
-
Ulasan Novel Duo Mama Karya Netty Virgiantini: Lika-Liku Ujian Rumah Tangga
Ulasan
-
Refleksi Keserakahan Manusia dan Kritik Penguasa dalam Antologi Puisi Negeri Daging Karya Gus Mus
-
Ulasan Novel Norwegian Wood: Haruki Murakami Tulis Kenangan Manis dan Pahit Masa Remaja
-
Ulasan Novel Kembara Rindu: Pengingat Lembut Karya Habiburrahman El Shirazy
-
Ulasan Drama Who Rules the World: Memperjuangkan Keadilan dan Kebenaran
-
Buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya: Strategi Cerdik Rusdi Mathari
Terkini
-
Taeil Eks NCT Divonis 3,5 Tahun Penjara Atas Kasus Pelecehan Seksual
-
Modis Tanpa Ribet, 4 Daily OOTD Chic ala Lee Joo Bin yang Wajib Dicoba!
-
5 Tanaman Buah yang Bisa Ditanam di Polybag, Solusi Berkebun di Lahan Sempit
-
Bukan Sekadar Resolusi: Tahun Baru sebagai Ruang Belajar dan Resiliensi
-
Simu Liu Bintangi Film Live-Action Sleeping Dogs Arahan Timo Tjahjanto