Setelah sekian lama tidak disuguhkan dengan film Indonesia yang mengangkat tema pendidikan di daerah terpencil, Solata hadir membawa angin segar sekaligus pengingat yang mengharukan mengenai pentingnya pendidikan bagi anak-anak di penjuru Indonesia.
Disutradarai oleh Ichwan Persada dan diproduksi oleh Walma Pictures, film ini membawa kita ke kecamatan Bonggakaradeng di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan. Dengan latar budaya Toraja yang kental, Solata tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga menyuguhkan gambaran nyata tentang kesenjangan pendidikan yang masih terjadi di Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil.
Terinspirasi dari kisah nyata, Solata bercerita tentang seorang pemuda asal Jakarta, yang diperankan oleh Rendy Kjaernett, yang datang ke Bonggakaradeng sebagai relawan untuk menjalankan sebuah program pendidikan. Namun, tantangan besar muncul ketika Angkasa (tokoh yang diperankan oleh Rendy) harus berhadapan dengan keterbatasan fasilitas dan kekurangan guru di daerah tersebut.
Setiap upaya yang dilakukan untuk memperkenalkan program pendidikan baru harus bersaing dengan kenyataan pahit bahwa banyak guru yang tidak bertahan di daerah terpencil. Drama dan tantangan sosial di balik pendidikan inilah yang menjadi inti dari cerita film ini.
Di balik cerita yang mengharukan ini, Solata menyampaikan pesan yang dalam mengenai kondisi pendidikan di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah yang jauh dari perkotaan. Meskipun di kota-kota besar, akses terhadap pendidikan bisa terbilang lebih mudah, kenyataan di desa-desa terpencil sangatlah berbeda.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, sekitar 9,5 juta anak di Indonesia masih kesulitan mengakses pendidikan yang layak, terutama di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Ini menunjukkan betapa besar masalah kesenjangan pendidikan yang harus dihadapi oleh anak-anak di berbagai pelosok negeri.
Film ini tidak hanya memperlihatkan kehidupan anak-anak di daerah yang jauh dari pusat peradaban, tetapi juga menggambarkan perjuangan para guru yang harus bekerja di bawah kondisi yang sangat terbatas. Solata mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan hanya tugas guru, tetapi juga tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah.
Salah satu keunikan film ini yang cukup menyentil saya ialah penamaan karakter anak-anak yang diambol dari nama-nama presiden kita. Hal ini secara tidak langsung juga menjadi sindirian kepada pemerintah agar lebih memperhatikan pendidikan di desa terpencil. Selain itu, film ini juga menggugah kita untuk lebih peduli terhadap tantangan yang dihadapi oleh anak-anak di daerah terpencil dan bagaimana dukungan dari berbagai pihak bisa menciptakan perubahan yang signifikan.
Konsep "Solata", yang berarti "sesama kita" atau "teman sekampung" dalam bahasa Toraja, menjadi simbol penting dalam film ini. Ketika seseorang dianggap sebagai bagian dari komunitas, mereka sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Filosofi ini tercermin dalam cerita film yang menggambarkan hubungan erat antara karakter-karakter yang saling mendukung, terutama dalam menghadapi tantangan dalam pendidikan.
Seperti yang diungkapkan oleh sutradara Ichwan Persada, makna kata Solata adalah lebih dari sekadar teman, melainkan ikatan yang sangat kuat seperti keluarga. Konsep "Solata" inilah yang menjadikan film ini terkesan penuh harapan, tidak hanya pada anak-anak Toraja, tetapi lebih jauh lagi pada pendidikan Indonesia.
Film ini juga mengangkat sisi budaya lokal Toraja yang kaya, dengan pemeran utama yang didukung oleh aktor-aktor dari Jakarta, Makassar, dan Toraja, seperti Rachel Natasya, Fhail Firmansyah, dan Aty Kodong. Kehadiran aktor lokal memperkaya film dengan nuansa yang autentik, yang sangat penting untuk memberikan gambaran yang akurat tentang kondisi sosial dan budaya di Toraja.
Penyutradaraan Solata dilakukan oleh Ichwan Persada yang menggandeng Waluyo Ichwandiardono, seorang penyunting film berpengalaman yang pernah terlibat dalam produksi Laskar Pelangi. Dengan sentuhan tangan dingin Waluyo, film ini dipastikan akan menyentuh hati penonton dan memberikan kesan mendalam tentang pentingnya pendidikan yang merata di seluruh Indonesia.
Solata bukan hanya sebuah film tentang pendidikan, tetapi juga sebuah panggilan untuk bertindak. Film ini mengajak kita untuk lebih peduli terhadap pendidikan di daerah-daerah yang kesulitan mengakses fasilitas yang layak. Dengan cerita yang menggugah dan kuat, Solata diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi kita semua untuk berkontribusi, sekecil apa pun, dalam memperbaiki kesenjangan pendidikan Indonesia.
Film Solata direncanakan akan tayang di bioskop pada akhir 2024 atau awal 2025, dan diprediksi akan menjadi film yang tidak hanya menghibur, tetapi juga membuka mata kita terhadap kondisi pendidikan saudara-saudara kita di belahan lain Indonesia yang belum sepenuhnya merata. Film ini akan menjadi pengingat bahwa pendidikan adalah hak semua anak, tidak peduli di mana mereka tinggal.