Disadur dari who.int, Difteri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Penyakit ini terutama mempengaruhi sistem pernapasan dan juga dapat menyebabkan kerusakan pada jantung, ginjal, dan sistem saraf.
Penyakit ini sangat menular dan dapat menyebar dari orang ke orang melalui pernapasan. Sementara difteri pernah menjadi penyebab utama kematian di kalangan anak-anak, program vaksinasi yang meluas telah menyebabkan penurunan kasus yang signifikan di banyak bagian dunia.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi kebangkitan kembali kasus difteri, terutama di daerah dengan tingkat vaksinasi yang rendah.
BACA JUGA: 4 Cara untuk Mencegah Penyakit Difteri, Yuk Terapkan!
Sejarah Penyakit Difteri
Difteri memiliki sejarah panjang, dengan wabah pertama yang tercatat terjadi di Spanyol pada abad ke-16. Penyakit ini pernah menjadi penyebab utama kematian anak-anak di banyak bagian dunia.
Pada akhir abad ke-19, wabah difteri melanda Eropa dan Amerika Utara, menewaskan ribuan orang. Pada tahun 1923, vaksin pertama melawan difteri dikembangkan, yang menyebabkan penurunan kasus yang signifikan di banyak bagian dunia.
Disadur dari cdc.gov, gejala difteri dapat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan infeksi. Gejala awal penyakit ini mungkin termasuk sakit tenggorokan, demam, dan menggigil.
Seiring perkembangan penyakit, membran putih keabu-abuan yang tebal dapat terbentuk di tenggorokan atau hidung, yang dapat menyebabkan kesulitan bernapas dan menelan.
Dalam kasus yang parah, membran dapat menyebar ke bagian lain dari tubuh, seperti jantung dan sistem saraf, yang dapat menyebabkan komplikasi serius bahkan kematian.
Kebangkitan Difteri
Meskipun ketersediaan vaksin yang sangat efektif, telah terjadi kebangkitan kembali kasus difteri dalam beberapa tahun terakhir, terutama di daerah dengan tingkat vaksinasi yang rendah.
Pada tahun 2018, terdapat 7.096 kasus difteri yang dilaporkan di seluruh dunia, dengan mayoritas kasus terjadi di India, Indonesia, dan Bangladesh. Di Amerika Serikat, telah terjadi wabah difteri secara sporadis pada populasi yang tidak divaksinasi.
Salah satu alasan munculnya kembali difteri adalah meningkatnya kecenderungan keragu-raguan vaksin. Keragu-raguan vaksin mengacu pada keengganan atau penolakan untuk memvaksinasi meskipun vaksin tersedia.
Tren ini dipicu oleh misinformasi dan mitos tentang vaksin yang kerap disebarkan melalui media sosial dan platform online lainnya.
Beberapa orang mungkin juga memiliki kekhawatiran tentang keamanan dan kemanjuran vaksin, meskipun ada banyak bukti ilmiah yang bertentangan.
BACA JUGA: Takut Vaksin? Tenang Saja, Berikut 5 Mitos Vaksin yang Tidak Benar
Faktor lain yang berkontribusi terhadap kebangkitan difteri adalah kurangnya akses vaksin di beberapa bagian dunia. Di negara berpenghasilan rendah, banyak anak tidak memiliki akses ke vaksin karena keterbatasan sumber daya dan infrastruktur.
Dalam beberapa kasus, ketidakstabilan politik dan sosial juga dapat mempersulit pelaksanaan program vaksinasi.
Kesimpulannya, difteri, penyakit mematikan yang pernah dianggap telah diberantas, kembali muncul di abad ke-21. Sementara alasan kebangkitan ini sangat kompleks, jelas bahwa kita harus tetap waspada dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit ini.
Program vaksinasi harus dipertahankan dan diperkuat, dan profesional kesehatan harus dididik tentang tanda dan gejala difteri untuk memastikan diagnosis dan pengobatan yang cepat.
Seperti yang telah kita lihat, difteri dapat menjadi penyakit yang menghancurkan, menyebabkan gangguan pernapasan yang parah dan komplikasi yang berpotensi fatal.
Fakta bahwa itu masih ada di beberapa bagian dunia, dan sekarang muncul di daerah baru, memprihatinkan. Namun, dengan tetap mendapat informasi dan mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah dan mengobati difteri.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS