Meninjau Regulasi Penanganan Diabetes Melalui Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan

Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Meninjau Regulasi Penanganan Diabetes Melalui Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan
Ilustrasi minuman manis (Pexels.com/cottonbro studio)

Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat konsumsi gula yang tinggi. Menurut data dari United States Department of Agriculture (USDA), Indonesia menempati posisi keenam dengan konsumsi gula mencapai 7,8 juta metrik ton. 

Salah satu produk yang banyak mengandung gula dan sering dikonsumsi adalah Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK), yang merupakan minuman yang ditambahkan gula atau pemanis buatan, dikemas dalam kaleng atau botol.

Dengan variasi rasa yang beragam dan desain kemasan yang praktis, MBDK cepat menjadi populer di kalangan masyarakat, terutama karena sesuai dengan gaya hidup modern yang mengutamakan kepraktisan dan kecepatan.

Mulai tahun 2024, pemerintah akan menerapkan kebijakan pengenaan cukai pada MBDK, yang diharapkan efektif dalam menurunkan konsumsi gula masyarakat dan mengurangi biaya penanganan penyakit akibat konsumsi gula berlebihan.

Kebijakan ini sempat tertunda karena berbagai pertimbangan, seperti pemulihan ekonomi nasional, kesehatan masyarakat, dan kondisi ekonomi global.

Setelah melakukan pembahasan menyeluruh selama beberapa tahun, pemerintah memutuskan bahwa MBDK merupakan barang yang layak dikenakan cukai.

Konsumsi MBDK yang berlebihan berdampak negatif bagi kesehatan dan juga mempengaruhi kondisi keuangan negara.

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), untuk mengurangi angka obesitas dan diabetes pada anak, perlu adanya regulasi pemerintah yang membatasi akses masyarakat terhadap MBDK. Aturan ini dianggap penting untuk melindungi kesehatan anak dari risiko obesitas.

Data dari Taipei Medical University dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir (1992-2020), konsumsi gula masyarakat meningkat sebesar 40%, jauh lebih tinggi dibandingkan peningkatan konsumsi gula global yang hanya 9%. 

Selain itu, konsumsi MBDK juga meningkat signifikan. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), dalam periode 20 tahun (1996-2014), konsumsi MBDK melonjak dari 24 juta liter pada tahun 1996 menjadi 405 juta liter pada tahun 2014. 

Peningkatan ini menjadi perhatian pemerintah karena berhubungan positif dengan meningkatnya penyakit tidak menular seperti diabetes, obesitas, dan penyakit kardiovaskular.

Menurut International Diabetes Federation (IDF), pada tahun 2021 Indonesia berada di posisi kelima dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia, mencapai 19,5 juta orang dalam rentang usia 20-79 tahun. 

Angka ini diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 28,5 juta pada tahun 2045. Diabetes juga menjadi salah satu penyebab kematian utama di Indonesia, menduduki peringkat ketiga setelah stroke dan penyakit jantung iskemik, dengan 40,78 kasus kematian per 100.000 populasi.

Obesitas, yang dapat disebabkan oleh konsumsi MBDK secara berlebihan, juga menjadi krisis kesehatan yang berkembang di Indonesia. 

Menurut WHO, Indonesia memiliki tingkat obesitas tertinggi di Asia Tenggara. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa tingkat obesitas meningkat dari 14% pada tahun 2019 menjadi 25% pada tahun 2023.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak