“Ah, dasar K-Popers alay! Bisanya ngehalu doang!”
Cemoohan semacam itu mungkin sudah tak asing lagi di telinga para penggemar Korean-pop. Saya, sebagai seorang penggemar K-Pop sejak bertahun-tahun lamanya, bahkan sudah tak lagi merasakan suntikan emosi jika mendengar ejekan demikian. Rasanya cemoohan seperti itu memang sudah terlampau basi dan overused, sehingga diri saya pun secara otomatis menjadi kebal terhadap komentar merendahkan itu.
Beberapa tahun ini dunia hiburan Korea Selatan memang tengah berada di puncak kejayaannya. Gelombang Hallyu, istilah untuk penyebaran budaya pop Korea Selatan, berhasil 'menyapu' berbagai belahan negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Beragam golongan masyarakat, mulai dari anak-anak sampai usia dewasa, perempuan hingga laki-laki, keranjingan oleh budaya Korea Selatan.
Fenomena ini tentunya tak mengherankan, jika mengingat bagaimana industri hiburan Korea Selatan begitu serius dan tak tanggung-tanggung dalam menciptakan produk untuk dipasarkan. Sebut saja kumpulan serial drama yang menawarkan ide cerita menarik dengan eksekusi luar biasa. Atau, para musikus seperti boygroup, girlgroup, dan solois yang senantiasa mempersembahkan penampilan unik dan berkualitas. Masyarakat disuguhkan oleh ragam karya yang diproduksi dengan totalitas, sehingga wajar saja pada akhirnya dunia hiburan Korea Selatan menjadi begitu digemari.
Tetapi bagaimanapun di tengah badai kesuksesan ini akan selalu ada oknum yang lebih senang melontarkan komentar pedas alih-alih ikut menikmati euforianya. Sebut saja oknum tersebut sebagai kelompok anti Korea Selatan. Sejak bertahun-tahun lalu, para penggemar budaya Korea Selatan, khususnya K-Popers, memang selalu dihadapkan oleh kelompok anti ini. Entah karena alasan apa, kelompok anti ini begitu senang mengganggu para K-Popers dengan merendahkan kegemaran mereka. Menyerukan cemoohan seperti yang saya sebutkan di awal, merupakan salah satu contohnya. Hal ini pun semakin menjadi-jadi setelah meningkatnya popularitas dunia hiburan Korea Selatan.
Bagi sebagian orang, atau bagi kelompok anti, K-Popers seringkali dipandang sebelah mata. Seakan menjadi penggemar K-Pop sama mengerikannya dengan bergabung ke dalam sekte sesat. Para K-Popers juga tak jarang dinilai sebagai penggemar fanatik yang mendewakan idolanya, sehingga mereka dianggap hanya berfokus pada sang idola dan tak peduli pada kehidupan sendiri.
Saya tentunya tak setuju dengan anggapan-anggapan demikian. Jika sekilas melihat, kebanyakan penggemar K-Pop mungkin memang hanya sekumpulan penggemar yang keranjingan muda-mudi rupawan. Tetapi nyatanya, ada banyak penggemar K-Pop yang memiliki segudang talenta berkat kegemarannya itu. Dari sini, saya berpikir bahwa sesuatu yang berangkat dari kecintaan, memang bisa tumbuh menjadi hal yang begitu positif.
Saya sendiri merasa telah mempelajari banyak hal selama menjadi K-Popers. Tahun 2012 merupakan awal saya mengenal K-Pop, berkat fanfiction Super Junior yang diperkenalkan oleh seorang kawan. Fanfiction ini merupakan karya fiksi buatan penggemar dengan para idol sebagai tokoh utamanya. Saya memang gemar menulis dan membaca karya fiksi sejak kecil, sehingga ketika diperkenalkan oleh fanfiction yang memiliki beragam ide menarik, saya kesenangan bukan main. Sejak saat itu, saya tenggelam dalam dunia K-Pop.
Kegemaran saya akan menulis dan membaca karya fiksi seakan didukung oleh adanya K-Pop dan fanfiction. Entah berapa kali saya menemukan penulis-penulis fanfiction berbakat yang memiliki kemampuan menulis tak main-main. Mulai dari gaya menulis yang cantik, ide cerita yang unik, sampai tata menulis yang rapi. Lewat membaca fanfiction-fanfiction ini, saya pun menjadi ikut belajar meningkatkan kemampuan dan gaya menulis. Beberapa kali saya juga memberanikan diri mengikuti kompetisi menulis fanfiction, yang otomatis mendorong saya untuk mempelajari tata kepenulisan yang baik dan benar.
Tak hanya menulis, fanfiction pun membuat saya mempelajari desain grafis. Para penulis fanfiction seringkali mencantumkan poster untuk memperindah karya yang mereka unggah. Tentunya saya juga tak ingin ketinggalan. Berangkat dari sana, saya mulai belajar mengoperasikan Adobe Photoshop demi menciptakan poster untuk fanfiction saya. Tutorial yang saya pelajari pun diberikan oleh para penulis fanfiction lainnya. Memang, belajar desain grafis secara otodidak seperti ini tak lantas menjadikan saya seorang profesional. Tetapi berkat kemampuan dasar yang saya peroleh dari K-Pop, saya selalu didapuk menjadi tim desain dalam organisasi dan kepanitiaan yang saya ikuti selama masa perkuliahan. Terlebih lagi, saat ini kemampuan mendesain memang sangat dibutuhkan dalam beragam keadaan.
Saya mungkin hanya contoh kecil untuk membuktikan bahwa seorang K-Popers bukanlah sekadar “penggemar-fanatik-alay-tukang-halu”. Tetapi ada ratusan atau bahkan ribuan K-Popers lain di luar sana yang mampu mengembangkan talentanya berkat K-Pop. Tengok saja para dancer dan penyanyi berbakat yang mengawali karirnya dari unggahan cover dance atau cover sing K-Pop. Ada pula para penulis fanfiction yang berhasil menerbitkan karyanya menjadi novel best seller, bahkan sampai diangkat ke layar lebar. Atau, para pebisnis yang sukses mendulang keuntungan besar berkat menjual merchandise K-Pop.
Ini semua menunjukan bahwa kita memang tak seharusnya merendahkan kegemaran orang lain. Karena ketika kita melakukan sesuatu yang dilandasi rasa suka, maka bukan tak mungkin hal itu dapat tumbuh menjadi menakjubkan.
Bagi saya, K-Pop telah membantu saya untuk terus belajar dan berkarya, untuk menemukan dan mengembangkan kemampuan lain yang berguna dalam kehidupan saya. Maka ketika saya menerima cemoohan tentang betapa rendahnya seorang K-Popers, saya tak pernah menanggapinya lagi. Sebab saya tahu betul, bahwa saya dan K-Popers lainnya, jauh lebih bernilai ketimbang kalimat-kalimat jahat itu. Seperti kata Mark Lee dari NCT, “No matter what they say, no matter what they do, we go resonate!”.