Kita cukup tahu Edi AH Iyubenu sangat dan selalu mencintai Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Salah satu wujud laku kecintaannya kepada Nabi Saw tertuang dalam penyelenggaraan Sayembara Menulis Cerpen bertema Perihal Kanjeng Nabi Muhammad Saw pada tahun 2019, lalu terbitlah buku kumpulan cerpen yang terlahir dari lomba tersebut dengan judul Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya.
Tak berhenti di situ. Berikutnya, tahun 2020 pemilik Penerbit Diva Press dan Kafe Basabasi ini menggelar Lomba Cipta Cerpen Menyambut Maulid Nabi Saw dengan tema sejenis, yaitu Perihal Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Hasil dari lomba itu kemudian terbitlah buku kumcer (kumpulan cerpen) berjudul Siapa Empat Lelaki di Kebun Kurma Itu?
Kenapa selalu bertema Cinta kepada Kanjeng Nabi Saw? Untuk jatuh cinta, kau memerlukan alasan dan tujuan. Namun, bila kau telah lebur di dalamnya, segala alasan dan tujuan pelan demi pelan pun pudar. Yang lalu ada hanyalah Cinta, yang tak lagi kuasa dijelaskan alasan dan tujuan, demikian tulis Edi AH Iyubenu di dinding facebook-nya (Edi Mulyono, 07/10/2021). Sebab, jika cinta telah bertahta, lalu melebur menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan, maka alasan serta tujuan mencintai taklah bisa diuraikan. Karena mencintainya adalah mencintai kehidupan semesta, terhampar begitu luas tak terjangkau.
Selawat kepada Kanjeng Nabi Saw dalam buku kumcer ini dengan gamblang dideskripsikan oleh Arafat Nur dalam cerpennya yang berjudul Penyair Kamto Jatuh Cinta. Dikisahkan, saat Kamto mengincar gadis cantik berkerudung hijau yang melenggang menuju kali, ia mengejarnya dan menyeberangi jalan. Ia tidak menyadari ketika sebuah truk dan bus penumpang dari dua arah jalan yang berlawanan sedang melaju kencang, lalu terjadi tabrakan. Sontak pandangan Kamto beralih pada kedua kendaraan yang setengah remuk itu.
Badan bus tersungkur ke pinggir jalan. Terperosok ke dalam jurang, lalu tersangkut ke sebatang pohon pinus yang seketika tumbang. Sedangkan truk pengangkut pasir terjungkal di badan jalan dengan ban belakang yang terus berputar, sementara pasirnya berceceran di jalan.
Kamto berlari menyeberang jalan melihat kondisi bus penumpang. Betapa terkejut ketika ia menyaksikan badan bus yang tersangkut di pangkal kayu pinus. Ia melihat belasan anggota badan penumpang yang menyembul lewat jendela yang kacanya pecah. Tak ada suara dan gerakan. Kamto lebih mendekat. Ia mencari arah lain untuk bisa menjenguk ke dalam bus. Tiba-tiba dari pintu depan yang terbuka terdengar senandung lirih selawat seorang lelaki tua berpeci hitam kusam, kemeja putih kumal dan bersandal jepit. Lelaki itu kemudian keluar dari dalam bus. Beberapa menit setelah itu, bus bergerak karena batang kayu yang menopangnya patah. Bus serta semua isinya lalu melayang di ketinggian, membentur batu di dasar jurang hingga mengakibatkan hancur lebur.
Hal yang membuat Kamto heran, lelaki yang diduganya seorang pengemis itu tak sedikit pun mengalami luka-luka dan sehat-sehat saja. Mulut lelaki itu terus saja melantunkan selawat. Kamto masih terbingung-bingung, antara takjub dan takut. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, selain hanya bisa menyaksikan semua itu sambil terheran-heran (hlm. 55).
Hemat saya, melalui cerita ini Arafat Nur ingin menarasikan hakikat doa dan pentingnya berselawat kepada Kanjeng Nabi Saw. Selawat yang dilandasi cinta akan menyelamatkan pembacanya. Syafaat Nabi Saw betul-betul nyata bagi pelantun selawat. Di antaranya menyelamatkan dari kecelakaan maut.
Kita sebagai pelaku tradisi Islam tentunya tak asing mendengar selawat Shallallahu ‘ala Muhammad, Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantunan doa yang mesra sekali antara umat kepada nabinya. Yang tentu dalam satu selawat kita, dibalas sepuluh rahmat dari Allah. Selawat yang kita senandungkan kepada Nabi Saw, dicatat serta dibalas oleh Allah Swt.
Selain Arafat Nur, penulis cerita-cerita yang terhimpun dalam buku bertajuk Siapa Empat Lelaki di Kebun Kurma Itu? setebal 196 halaman ini, juga terdapat beberapa penulis kawakan yang karyanya tak diragukan, semisal Edi AH Iyubenu, Adam Yudhistira, Sasti Gotama, Guntur Alam, Wi Noya, dan lima penulis lainnya. Sebelas penulis dalam buku ini telah membuktikan cintanya kepada Kanjeng Nabi Saw melalui cerita yang segar dan cukup apik. Selamat membaca!
*) Fathorrozi, penulis lepas yang mencintai buku, lulusan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.