Di persimpangan langkahku terhenti. Ramai kaki lima, menjajakan sajian khas berselera, orang duduk bersila. Musisi jalanan mulai beraksi, seiring laraku kehilanganmu. Merintih sendiri, ditelan deru kotamu.
Sebait lagu KLA Project, musisi legendaris Indonesia, berjudul "Yogyakarta" itu menggambarkan tentang kisah cinta dan kerinduan untuk selalu dapat mengunjungi kota penuh kenangan yang sering disebut ‘Jogja’. Sayangnya, kenangan yang terdapat di sebait lagu tersebut saat ini mulai sirna seiring dengan upaya penertiban kawasan wisata dan budaya di Yogyakarta.
Per 1 februari lalu, pedagang kaki lima (PKL) yang berada di kawasan Jalan Malioboro resmi direlokasi oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Pemerintah Kota Yogyakarta ke tempat baru. Mereka berpindah ke Teras Malioboro 1 yang merupakan bekas Gedung Bioskop Indra dan Teras Malioboro 2, bekas gedung Dinas Pariwisata DIY.
Adapun alasan Pemda DIY dan Pemkot Yogyakarta memindahkan PKL yang berada di sepanjang jalan Malioboro adalah bagian dari penertiban kawasan daerah Yogyakarta. Ini merupakan langkah pemerintah setempat untuk menjadikan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai salah satu situs warisan budaya dunia oleh UNESCO. Selain itu, pemindahan PKL juga bertujuan untuk memberikan kenyamanan kepada para wisatawan dan memberikan ruang secara legal bagi para PKL dalam berniaga di kawasan tersebut.
Dari penuturan beberapa wisatawan, pemindahan PKL dinilai efektif dalam memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki. Trotoar dan selasar-selasar toko di sepanjang jalan Malioboro cukup lengang pasca relokasi PKL ke tempat baru. Hal itu membuat para pejalan kaki, khususnya penyandang disabilitas tidak perlu lagi berhimpit-himpitan dengan pedagang dan pejalan kaki lainnya ketika melewati sepanjang sisi jalan Malioboro.
Namun, di balik kenyamanan dan ketertiban yang tersaji pasca relokasi, seakan terdapat suasana yang berbeda dan tak seperti biasanya. Hilangnya para PKL di kawasan wisata paling terkenal di kota tersebut dinilai membuat Malioboro serasa hampa, lantaran tiada lagi hiruk pikuk para pedagang yang turut memberikan suasana di sepanjang jalan yang penuh kenangan. Selama berpuluh-puluh tahun lamanya, PKL menjadi perwajahan di sepanjang Jalan Malioboro. Beragam barang dagangan mulai dari aksesoris hingga kuliner tumpah ruah memenuhi setiap sisi jalan dan pertokoan.
Bukan cuma wisatawan yang merasa kehilangan, bahkan pemilik toko di Jalan Malioboro mengaku bahwa kini tiada lagi teman bercerita sesama para pedagang di Malioboro. Keakraban tersebut telah terjalin sejak lama, baik itu sesama pedagang maupun dengan para wisatawan, atau antara para pedagang toko dengan kaki lima.
Dalam konsepnya, PKL merupakan salah satu pekerjaan informal yang marak ditemui di kota-kota besar. Masyarakat yang berprofesi sebagai PKL umumnya adalah pendatang dari desa atau daerah lain di luar kota. PKL merupakan profesi yang dinilai mudah dijalankan karena tidak mengharuskan tingkat pendidikan tertentu dan modal yang dikeluarkan juga tidak terlalu besar. Sebab, tidak memerlukan izin usaha hingga bebas dari pungutan pajak. Kalaupun terdapat pungutan, paling-paling hanya biaya sewa tempat kepada pemilik toko atau tanah tempat mereka berdagang dan dari masyarakat setempat (aparat lingkungan ataupun ormas).
Keberadaan PKL secara tidak langsung memberikan opsi bagi para wisatawan untuk dapat menikmati indahnya Kota Yogyakarta dan membawa buah tangan darinya dengan harga yang cukup bersahabat.
Sementara di sisi lain, keberadaan PKL juga membawa beberapa masalah dalam tata ruang sebuah kota. Baik itu masalah kebersihan hingga masalah kemacetan. Kini, seiring dengan masifnya pembangunan dan pemberdayaan kawasan wisata serta budaya di Yogyakarta, PKL mulai direlokasi ke tempat yang lebih layak. Tepatnya di sisi utara dan di sisi selatan Jalan Malioboro.
Kebijakan tersebut tentu bertujuan untuk kebaikan bersama dalam memberikan ruang publik yang nyaman, sekaligus memberikan tempat nan layak kepada PKL. Walau harus mengorbankan hilangnya ciri khas Malioboro, tetapi bagi setiap orang yang pernah tinggal di Jogja, setiap sudut kota di Jogja itu, romantis.
Lalu, bagaimana menurutmu langkah pemindahan PKL Malioboro itu?