kolom
Penyebab hingga Solusi, Mengapa Generasi Z Cenderung Mudah Berhenti Kerja?

Yoursay.id - Dalam lanskap dunia kerja yang terus berkembang, loyalitas karyawan menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh organisasi. Generasi Z, sebagai kelompok tenaga kerja yang mulai mendominasi pasar, membawa perspektif baru yang menuntut perubahan dalam cara organisasi membangun dan mempertahankan hubungan dengan karyawan mereka. Jika generasi sebelumnya lebih mengutamakan stabilitas dan jenjang karier yang jelas, generasi Z lebih menekankan pada pengalaman kerja yang bermakna, keseimbangan kehidupan kerja, serta lingkungan kerja yang mendukung pertumbuhan mereka secara profesional dan personal. Dalam konteks ini, penelitian oleh Panggabean dan Satwika (2024) dari Fakultas Psikologi Universitas Sebelas Maret yang diterbitkan dalam Jurnal Psikologi: Media Ilmiah Psikologi Universitas Esa Unggul menjadi relevan karena menyoroti bagaimana lingkungan kerja non-fisik berperan dalam membentuk loyalitas kerja generasi ini.
Salah satu temuan utama dalam penelitian ini adalah bahwa lingkungan kerja non-fisik memiliki korelasi yang signifikan terhadap loyalitas kerja generasi Z. Namun, yang menjadi pertanyaan kritis adalah mengapa aspek non-fisik ini memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan faktor tradisional seperti gaji atau tunjangan? Dalam paradigma kerja konvensional, kesejahteraan karyawan sering kali diukur berdasarkan kompensasi finansial yang diterima. Namun, generasi Z memandang pekerjaan sebagai bagian dari identitas mereka dan lebih menghargai aspek-aspek seperti keterlibatan emosional, fleksibilitas, serta makna di balik pekerjaan yang mereka lakukan.
Budaya organisasi menjadi salah satu elemen kunci dalam lingkungan kerja non-fisik yang mempengaruhi loyalitas generasi Z. Generasi ini tumbuh dalam era keterbukaan informasi, di mana nilai-nilai perusahaan bukan hanya sebatas slogan yang terpampang di dinding kantor, tetapi harus terimplementasi dalam praktik sehari-hari. Mereka lebih cenderung mempertanyakan apakah nilai yang diusung perusahaan selaras dengan perilaku nyata dalam organisasi. Ketidaksesuaian antara visi perusahaan dan praktik di lapangan dapat dengan mudah membuat mereka kehilangan rasa memiliki terhadap organisasi, yang pada akhirnya berdampak pada loyalitas kerja mereka.
Selain itu, hubungan interpersonal di tempat kerja juga menjadi faktor penting yang menentukan apakah generasi Z akan bertahan atau mencari peluang di tempat lain. Tidak seperti generasi sebelumnya yang lebih menerima struktur hierarkis dalam organisasi, generasi Z menginginkan lingkungan kerja yang lebih kolaboratif, di mana komunikasi bersifat dua arah dan mereka merasa didengar serta dihargai. Hal ini berkaitan erat dengan kebutuhan mereka akan umpan balik yang cepat dan konstruktif. Perusahaan yang masih menerapkan pola komunikasi kaku dengan birokrasi yang berbelit berisiko kehilangan talenta-talenta muda yang menginginkan interaksi yang lebih dinamis dan setara.
Dukungan terhadap pengembangan karier juga menjadi aspek krusial yang dapat meningkatkan loyalitas generasi Z. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mungkin lebih fokus pada kestabilan jangka panjang, generasi Z melihat pekerjaan sebagai bagian dari perjalanan pembelajaran yang berkelanjutan. Mereka tidak hanya ingin bekerja untuk mendapatkan penghasilan, tetapi juga untuk terus berkembang dan memperoleh keterampilan baru. Jika perusahaan tidak menyediakan peluang pengembangan yang memadai, mereka cenderung mencari organisasi lain yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Ini menjelaskan mengapa perusahaan yang menawarkan program pelatihan, mentoring, serta kesempatan untuk naik jabatan lebih cepat cenderung memiliki tingkat retensi karyawan yang lebih tinggi.
Namun, penting untuk mencermati bahwa loyalitas kerja generasi Z tidak dapat dipertahankan hanya dengan menawarkan budaya organisasi yang inklusif dan peluang pengembangan karier. Faktor lain yang tak kalah penting adalah keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi. Generasi ini memiliki pandangan yang berbeda terhadap konsep produktivitas. Mereka tidak lagi mengukur keberhasilan berdasarkan jumlah jam kerja yang dihabiskan di kantor, melainkan pada hasil yang dihasilkan. Oleh karena itu, mereka lebih menghargai perusahaan yang memberikan fleksibilitas dalam bekerja, baik dalam hal jam kerja maupun lokasi kerja. Dalam beberapa tahun terakhir, sistem kerja hybrid dan remote semakin diminati oleh generasi ini karena memberikan mereka keleluasaan dalam mengatur produktivitas tanpa merasa terkungkung oleh aturan kerja yang kaku.
Jika ditelaah lebih lanjut, ada ironi dalam meningkatnya tuntutan terhadap lingkungan kerja non-fisik yang ideal. Di satu sisi, organisasi dituntut untuk menciptakan ekosistem kerja yang suportif agar dapat mempertahankan karyawan dari generasi Z. Namun di sisi lain, dinamika pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif membuat organisasi harus mempertimbangkan aspek efisiensi dan keberlanjutan bisnis. Tidak semua perusahaan memiliki kapasitas untuk menerapkan kebijakan fleksibel, memberikan pelatihan berkala, atau membangun budaya organisasi yang benar-benar inklusif dalam waktu singkat. Dalam banyak kasus, hanya perusahaan besar dengan sumber daya yang memadai yang mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan generasi Z, sementara perusahaan kecil dan menengah sering kali mengalami kesulitan untuk beradaptasi.
Persoalan lain yang perlu dikritisi adalah apakah loyalitas kerja generasi Z benar-benar dapat dipertahankan dalam jangka panjang, ataukah fenomena ini hanya bersifat sementara? Mengingat generasi ini cenderung memiliki aspirasi yang terus berkembang, ada kemungkinan bahwa loyalitas mereka terhadap sebuah perusahaan hanya bertahan selama organisasi tersebut mampu memenuhi kebutuhan mereka pada saat itu. Begitu mereka merasa tidak lagi mendapatkan apa yang mereka cari baik dalam hal pengembangan karier, keseimbangan kerja-hidup, atau makna dalam pekerjaan mereka akan mencari peluang baru tanpa ragu. Hal ini memunculkan tantangan bagi perusahaan untuk terus berinovasi dalam menciptakan lingkungan kerja yang mampu mempertahankan karyawan dalam jangka panjang.
Pada akhirnya, penelitian ini memberikan wawasan yang berharga bagi perusahaan yang ingin memahami bagaimana menarik dan mempertahankan generasi Z dalam dunia kerja. Namun, ada beberapa pertanyaan kritis yang masih perlu dijawab, seperti sejauh mana perusahaan dapat mengakomodasi tuntutan generasi ini tanpa mengorbankan keberlanjutan bisnis, serta bagaimana membangun sistem yang tidak hanya menarik karyawan muda, tetapi juga mampu mempertahankan loyalitas mereka dalam jangka panjang. Yang jelas, di era di mana tenaga kerja semakin beragam dan ekspektasi terus berkembang, pendekatan tradisional dalam manajemen karyawan tidak lagi cukup. Perusahaan yang mampu beradaptasi dengan realitas baru ini akan lebih siap menghadapi tantangan tenaga kerja di masa depan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.