Pernahkah kamu berpikir, kenapa sih profesi penulis itu sering kali dipandang sebelah mata, bahkan bayarannya terkesan minim?
Di era digital ini, kita terpapar teks setiap hari seperti artikel berita, caption media sosial, blog, sampai naskah film atau series, dan semua itu hasil kerja penulis.
Tapi ironisnya, jarang sekali kita mendengar cerita sukses finansial dari seorang penulis di Indonesia, apalagi sampai hidup mewah (memang ada beberapa tapi hanya sedikit). Malah yang sering terdengar adalah keluhan tentang deadline yang mepet, revisi bertubi-tubi, dan bayaran yang tak seberapa.
Sebagai seseorang yang juga bergerak di dunia tulis menulis, saya sering merenungkan ini. Ada beberapa faktor yang menurut saya jadi alasan kenapa profesi penulis ini cenderung dikesampingkan dan bayarannya sering kali bikin miris.
1. Anggapan Siapa Saja Bisa Menulis
Ini mungkin akar masalahnya. Banyak orang berpikir bahwa menulis itu keterampilan dasar yang diajarkan sejak SD, jadi siapa saja bisa menulis. Asal bisa merangkai kata jadi kalimat, ya sudah, bisa jadi penulis. Anggapan ini membuat nilai keahlian menulis jadi rendah.
Padahal, menulis secara profesional itu jauh lebih dari sekadar bisa menyusun kalimat. Ada riset, analisis, kemampuan menyajikan ide rumit jadi mudah dipahami, gaya bahasa yang sesuai target pembaca, kreativitas, ketepatan, dan belum lagi skill SEO (untuk penulis digital) atau riset pasar (untuk penulis naskah atau iklan).
Semua itu butuh latihan, pengalaman, dan bakat. Tapi karena semua orang bisa menulis, banyak yang enggan membayar mahal untuk jasa ini.
2. Industri yang Belum Sepenuhnya Menghargai Kreativitas dan Ide
Di beberapa sektor, terutama media atau content creation, kecepatan sering kali lebih dihargai daripada kualitas mendalam.
Konten harus update setiap jam, viral dalam sekejap, dan dibaca banyak orang. Ini mendorong sistem kerja yang menuntut penulis untuk memproduksi banyak tulisan dalam waktu singkat, seringkali dengan standar bayaran per kata atau per artikel yang sangat rendah.
Selain itu, ide dan konsep, yang merupakan inti dari karya tulis, seringkali dianggap gratis atau mudah didapat. Padahal, ide orisinal dan narasi yang kuat adalah hasil dari pemikiran, pengalaman, dan kreativitas yang tak ternilai.
Sayangnya, banyak klien atau perusahaan yang kurang melihat investasi dalam kualitas tulisan sebagai sesuatu yang esensial, melainkan hanya sebagai checklist yang harus dipenuhi.
3. Persaingan Ketat dan Minimnya Batasan Harga
Dunia kepenulisan, terutama yang freelance, punya pintu masuk yang relatif mudah. Siapa saja bisa mulai menawarkan jasa menulis. Ini menciptakan persaingan yang sangat ketat, apalagi dengan adanya platform freelance global. Akibatnya, banyak penulis yang terpaksa menurunkan harga jasa mereka jauh di bawah standar demi mendapatkan proyek.
Tidak adanya standar gaji atau honor yang baku dan diakui secara luas juga memperparah kondisi ini. Penulis seringkali bernegosiasi sendiri, dan kalau tidak punya pengalaman atau portofolio yang kuat, mereka cenderung menerima apa adanya. Ini berbeda dengan profesi lain yang punya asosiasi kuat atau standar upah minimum yang lebih jelas.
4. Kurangnya Pemahaman Pasar tentang Nilai Tulisan
Banyak pelaku bisnis, UMKM, atau bahkan brand besar yang belum sepenuhnya memahami dampak positif tulisan berkualitas terhadap bisnis mereka. Mereka mungkin melihat tulisan sebagai biaya, bukan investasi.
Contohnya, artikel blog yang informatif dan ditulis dengan baik bisa meningkatkan traffic website, membangun kepercayaan konsumen, dan pada akhirnya meningkatkan penjualan. Naskah iklan yang bagus bisa membuat produk dikenang. Tapi, nilai jangka panjang ini sering tidak terlihat langsung, sehingga mereka ragu mengalokasikan anggaran besar untuk penulis.
Selain itu, masih ada anggapan bahwa AI bisa menggantikan penulis sepenuhnya. Meskipun AI memang bisa menghasilkan teks, sentuhan manusia, kreativitas, empati, dan pemahaman budaya yang mendalam, namun tetap masih sangat sulit ditiru. Namun, pemahaman yang terbatas tentang kapasitas AI ini kadang membuat profesi penulis makin diremehkan.
5. Kurangnya Representasi dan Serikat Penulis yang Kuat
Di Indonesia, serikat atau asosiasi penulis yang benar-benar kuat dan mampu memperjuangkan hak-hak serta standar upah penulis masih terbatas. Ini berbeda dengan profesi lain seperti jurnalis, dokter, atau pengacara yang memiliki wadah kuat untuk negosiasi dan perlindungan anggotanya.
Akibatnya, penulis sering kali berjuang sendiri dalam menghadapi praktik-praktik yang merugikan, seperti keterlambatan pembayaran, honor yang sangat rendah, atau bahkan pencurian ide.
Jika ada serikat yang kuat, mereka bisa menetapkan standar minimal, memberikan edukasi tentang hak cipta, dan melakukan advokasi untuk meningkatkan apresiasi terhadap profesi penulis.
Profesi penulis memang tidak semudah yang terlihat. Di balik setiap kata yang kamu baca, ada pemikiran, riset, dan kerja keras. Semoga saja, seiring berjalannya waktu, apresiasi terhadap profesi ini bisa meningkat, dan para penulis bisa mendapatkan bayaran yang setimpal dengan kerja keras dan kreativitas yang telah dituangkan.