Dua Mata Pelajaran yang Harusnya Masuk Kurikulum Indonesia

Hayuning Ratri Hapsari | Riswandi Riswandi
Dua Mata Pelajaran yang Harusnya Masuk Kurikulum Indonesia
Ilustrasi pelajaran sekolah (pixabay.com/geralt)

Pendidikan di Indonesia ini kadang aneh. Dari SD sampai SMA, kita disuruh hafal rumus bangun datar, padahal sehari-hari jarang ada orang yang sambil antre nasi padang tiba-tiba ditodong pertanyaan, “Berapa keliling jajar genjang yang panjang sisinya 12 dan 17 cm?” Gak ada. Tapi coba tanya, “Gimana cara ngatur uang bulanan biar cukup sampai akhir bulan tanpa harus pinjam ke pinjol ilegal?” Nah, semua orang pasti pengin tahu.

Ini belum ngomongin kesehatan mental, ya. Banyak remaja yang kepalanya rasanya meledak karena tekanan sosial, ekspektasi keluarga, dan algoritma Instagram yang bikin semua orang kelihatan bahagia (padahal belum tentu juga). Tapi sekolah masih mikir urusan emosi itu urusan pribadi. Duh.

Jadi begini. Kalau kurikulum Indonesia mau lebih masuk akal dan relevan sama zaman, sudah saatnya dua mata pelajaran ini dikasih panggung utama: Literasi Keuangan Pribadi dan Kesehatan Mental & Emosional. Kenapa? Yuk, kita obrolin satu per satu.

1. Literasi Keuangan Pribadi: Biar Gak Salah Langkah di Tanggal Tua

Kita mulai dari topik yang paling nyata, “duit”.

Anak SMA di Indonesia bisa jadi hafal reaksi kimia esterifikasi dan bisa ngerjain soal integral trigonometri, tapi nggak tahu cara bikin anggaran bulanan. Mereka ngerti hukum Archimedes, tapi bingung bedain cicilan bunga tetap dan bunga menurun. Ironi abad ini.

Padahal, setelah lulus sekolah, yang ditemui itu bukan soal-soal UN, tapi tagihan listrik, pulsa yang habis, dan rayuan aplikasi pinjaman online yang tampilannya lucu tapi bunganya mencekik.

Coba bayangkan kalau di sekolah diajarin cara ngatur gaji pertama. Ada modul khusus berjudul “Jangan Langsung Beli iPhone Begitu Gajian”. Atau pelajaran praktik seperti bikin simulasi investasi, budgeting bulanan, bahkan simulasi buka usaha kecil-kecilan. Mungkin dengan itu, generasi muda nggak gampang kena jebakan MLM atau skema Ponzi yang nyamar jadi “komunitas berbagi rezeki”.

Sayangnya, yang diajarkan di sekolah soal keuangan paling banter adalah “uang itu penting, jadi harus ditabung.” Selesai. Lalu dilempar ke kehidupan nyata dan disuruh cari tahu sendiri soal apa itu inflasi, reksa dana, dan kenapa harga cabai rawit naik terus.

Padahal, Menurut data terbaru OJK–BPS lewat SNLIK 2024, literasi keuangan masyarakat Indonesia sudah meningkat tajam menjadi 65,43%, naik drastis dari posisi 49,68% pada 2022. Meski begitu, gap masih terasa, di perkotaan angkanya mendekati 70%, sementara di pedesaan masih di kisaran 59%. Bahkan remaja 15–17 tahun masih berada di level dasar, sekitar 52%, menunjukkan kebutuhan mendesak untuk memasukkan materi literasi keuangan ke dalam kurikulum minimal SMP-SMA agar tidak ada generasi yang tertinggal.

Kalau literasi keuangan dijadikan pelajaran wajib dari SMA, bahkan sejak SMP, mungkin generasi selanjutnya bisa lebih tahan banting. Mereka tahu cara bikin dana darurat, bisa bedain aset dan liabilitas, dan gak gampang tergiur janji investasi “cuan 30% dalam seminggu”. Kita butuh lebih banyak anak muda yang melek finansial, bukan yang cuma jago bikin quote motivasi sambil ngutang di lima aplikasi berbeda.

2. Kesehatan Mental & Emosional: Karena “Semangat ya!” Tidak Selalu Menyembuhkan

Sekarang kita lompat ke topik yang lebih personal tapi sama pentingnya, “kesehatan mental”.

Zaman sekarang, tekanan itu datang dari mana-mana. Sekolah makin berat, tuntutan makin tinggi, dan algoritma media sosial makin kejam. Belum lagi standar sukses yang absurd: umur 25 harus sudah mapan, punya bisnis, rutin olahraga, dan tentu saja... healing ke Bali tiap bulan. Kalau nggak, katanya gagal dalam hidup.

Tapi di sekolah? Urusan emosi dan stres dianggap remeh. Anak yang kelihatan murung terus dibilang “kurang bersyukur”. Yang nangis di kelas disuruh “lebih kuat”. Yang bilang capek mental malah dijawab, “Guru kamu dulu juga capek ngajar kamu, tapi tetap semangat, kan?”

Sekolah jarang ngajarin cara mengenali emosi, cara menghadapi tekanan, atau cara minta tolong. Padahal, remaja sekarang butuh itu. Butuh ruang buat cerita tanpa takut dihakimi, butuh tahu bahwa stres itu bukan kelemahan, tapi sinyal kalau tubuh dan pikiran perlu istirahat.

Bayangkan kalau ada mata pelajaran “Emosi dan Aku”. Isinya bukan cuma teori, tapi juga praktik meditasi, teknik pernapasan, cara ngobrol sehat dengan orang tua, dan bahkan yang paling penting belajar bilang “tidak” tanpa merasa bersalah. Atau kelas praktik seperti “Mengelola Overthinking dalam 10 Langkah”.

Dan jangan lupa edukasi soal depresi, kecemasan, burnout, dan segala istilah psikologis yang sering muncul tapi belum tentu dipahami. Kalau ada pelajaran ini, mungkin gak akan ada lagi siswa yang memendam perasaan sendirian karena takut dianggap “lemah” atau “cari perhatian”.

Perlu dicatat, data dari UNICEF menyebutkan bahwa 1 dari 3 remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, tapi hanya sedikit yang mendapatkan bantuan profesional. Bayangkan jumlah siswa yang secara teknis sedang berjuang, tapi tetap harus ikut upacara Senin pagi sambil dengerin pidato kepala sekolah yang isinya motivasi setipis tisu basah.

Jadi, Kenapa Dua Pelajaran Ini Penting Banget?

Karena dua hal ini akan dihadapi setiap manusia, seumur hidup: mengelola uang dan mengelola perasaan. Tapi anehnya, dua hal ini gak pernah dianggap penting di sekolah. Kita diajari banyak hal, tapi gak diajari cara menjalani hidup dengan sehat dan waras.

Kurikulum kita masih sibuk mengejar ranking, sementara anak-anaknya pelan-pelan mulai takut menghadapi dunia nyata. Yang satu takut miskin, yang satu takut gagal, yang lain takut nggak dianggap.

Padahal, sekolah seharusnya jadi tempat persiapan masuk kehidupan, bukan tempat hafalan massal yang bikin stres kolektif.

Masa Depan yang Seharusnya

Saya tidak menyarankan untuk menghapus matematika atau kimia. Tapi saya percaya, kalau siswa bisa tahu cara menghitung bunga majemuk dan cara berdamai dengan overthinking, Indonesia akan jauh lebih siap menghadapi masa depan. Kita tidak hanya mencetak manusia pintar, tapi juga manusia utuh.

Karena hidup ini, Bung, lebih dari sekadar ujian nasional. Ada cicilan, ada tekanan batin, dan ada pilihan-pilihan sulit yang gak bisa diselesaikan hanya dengan rumus kuadrat. Dan itu semua butuh ilmu, yang sayangnya, belum masuk buku pelajaran.

Kalau artikel ini masuk ke telinga pejabat Kemendikbud, semoga bukan cuma didengar lalu dianggap angin lalu. Sebab, kita butuh pendidikan yang lebih manusiawi, bukan cuma pendidikan yang bikin nilai rapor naik.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak