Di Balik Gemerlap Ekspektasi: Mencari Makna di Tengah Tekanan Hidup Modern

Hikmawan Firdaus | Inggrid Tiana
Di Balik Gemerlap Ekspektasi: Mencari Makna di Tengah Tekanan Hidup Modern
Ilustrasi manusia dengan media sosialnya (unsplash.com)

Hidup di era modern, terutama di kota-kota yang berkembang pesat, seringkali terasa seperti berlomba dalam sebuah balapan tanpa garis finish yang jelas. Sejak kecil, kita dididik untuk mengejar standar-standar tertentu, seperti sekolah terbaik, nilai tertinggi, pekerjaan bergengsi, gaji besar, pernikahan, rumah, dan segudang pencapaian lainnya.

Ini adalah tekanan ekspektasi sosial yang tak terlihat, namun begitu kuat membebani pundak banyak dari kita. Ironisnya, di tengah semua pencapaian itu, tak jarang kita justru merasa hampa, terjebak dalam pertanyaan seperti, apa sebenarnya makna hidup ini?

Keresahan ini adalah fenomena yang semakin lumrah. Kita melihat teman-teman di media sosial meraih kesuksesan versi mereka, dan tanpa sadar, kita membandingkan diri. Perbandingan ini, ditambah dengan tuntutan yang tak ada habisnya, bisa memicu kecemasan dan bahkan mengikis kebahagiaan.

Ketika "Cukup" Menjadi Sulit Didefinisikan

Sejak bangku sekolah, kita diajarkan untuk bersaing. Nilai-nilai akademik jadi patokan utama, kemudian dilanjutkan dengan persaingan masuk perguruan tinggi favorit. Setelah lulus, perlombaan beralih ke dunia kerja, siapa yang punya karier paling cemerlang, posisi tertinggi, atau gaji paling besar.

Tak berhenti di situ, ekspektasi kemudian merambah ke kehidupan personal, kapan menikah, kapan punya anak, kapan punya rumah sendiri, mobil mewah, liburan ke luar negeri, dan seterusnya.

Lingkungan sekitar, baik itu keluarga, teman, atau bahkan media sosial, secara tidak langsung turut membentuk ekspektasi-ekspektasi ini.

Kita melihat teman yang baru saja promosi, tetangga yang baru beli mobil baru, atau selebriti yang pamer liburan mewah. Seketika, muncul pertanyaan dalam benak, "Apakah saya sudah cukup?" Atau lebih parah lagi, "Mengapa hidup saya tidak seindah mereka?"

Keresahan ini semakin diperparah dengan budaya hustle yang seolah menuntut kita untuk selalu produktif, selalu mencari sampingan, dan tidak boleh berhenti berjuang demi mencapai lebih banyak. Istirahat sejenak saja kadang terasa seperti dosa, karena ada rasa bersalah tidak produktif. Padahal, tubuh dan pikiran kita juga butuh jeda.

Tekanan untuk terlihat sukses juga cukup terasa. Di era digital ini, mudah sekali untuk menampilkan pencapaian di media sosial. Foto-foto cafe hopping, liburan, atau outfit terbaru, seolah menjadi indikator kebahagiaan. Padahal, di balik layar, mungkin ada perjuangan yang tak terlihat, atau bahkan hati yang merasa kosong.

Mencari Makna di Tengah Badai Ekspektasi

Keresahan tentang ekspektasi sosial ini seringkali berujung pada pertanyaan, apa sebenarnya makna hidup ini? Apakah makna hidup hanya sebatas akumulasi pencapaian dan materi? Atau adakah sesuatu yang lebih dalam?

Pencarian makna ini adalah perjalanan pribadi yang unik bagi setiap orang. Beberapa langkah kecil ini bisa diambil untuk mengatasi keresahan:

1. Mendefinisikan Ulang Kesuksesan: Berhenti mengikuti standar umum dan mulai mendefinisikan apa itu kesuksesan bagi diri sendiri. Mungkin kesuksesan adalah ketenangan hati, kebahagiaan sederhana, atau kemampuan untuk memberi manfaat bagi orang lain, bukan melulu soal materi atau jabatan.

2. Praktik Self-Acceptance: Menerima diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan, tanpa perlu membandingkan dengan orang lain. Setiap orang punya jalannya sendiri.

3. Fokus pada Kualitas Hubungan: Menginvestasikan waktu dan energi pada hubungan yang berkualitas dengan orang-orang terdekat, daripada sibuk menciptakan kesan di dunia maya. Hubungan yang tulus jauh lebih mampu memberikan makna dan kebahagiaan.

4. Menemukan Tujuan yang Lebih Besar: Mencari tahu apa yang benar-benar memotivasi kita, apa yang membuat kita merasa hidup dan bermakna. Ini bisa berupa kegiatan sukarela, mengejar hobi, atau mengembangkan diri di bidang yang kita cintai, lepas dari tuntutan eksternal.

5. Digital Detox Sesekali: Memberi jeda dari media sosial. Terkadang, kita perlu mematikan kebisingan dari luar agar bisa mendengar suara hati kita sendiri.

Tekanan ekspektasi sosial dan pencarian makna hidup adalah dua sisi dari mata uang yang sama di era modern. Keresahan ini wajar adanya. Namun, penting bagi kita untuk tidak larut di dalamnya. Justru, ini bisa menjadi pemicu untuk sebuah refleksi yang lebih dalam, apa yang benar-benar penting dalam hidup kita?

Mungkin, kebahagiaan dan makna sejati tidak terletak pada seberapa tinggi kita bisa melompat, melainkan pada seberapa kita bisa menjalani hidup, seberapa dalam kita terhubung dengan diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Di tengah hiruk pikuk kota dan gemerlapnya standar hidup, mari kita berani mendefinisikan kebahagiaan dan makna kita sendiri, tanpa perlu izin dari orang lain.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak