Teruntuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, sungguh saya dibuat bingung berkenaan dengan disahkannya revisi UU KPK pada tanggal 17 September lalu. Enam poin yang baru disahkan atas kesaksian 102 dari 560 anggota DPR itu benar-benar menyisakan pertanyaan besar dalam diri saya, juga banyak orang di luar sana.
Di antara poin-poin krusial terkait revisi UU KPK yang paling menjadi sorotan ialah akan adanya Dewan Pengawas KPK. Dewan Pengawas ini berjumlahkan 5 orang dan dipilih langsung oleh Presiden Republik Indonesia.
Revisi UU KPK ini dinilai penting oleh pemerintah karena usia regulasi yang sudah 17 tahun lamanya. Atas dasar itu, evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tersebut diselenggarakan. Dimulai pada tanggal 3 September 2019 saat Badan Legislasi DPR menggelar rapat berbarengan dengan pembahasan usulan revisi UU MD3, hingga berakhir pada 17 September 2019 saat DPR mengetuk palu tanda pengesahan revisi UU KPK.
Salah satu poin revisi UU KPK yang telah disepakati DPR dan pemerintah yang paling menyisakan tanda tanya ialah dibentuknya sebuah Dewan Pengawas. Dalam Pasal 37A ayat (1) menyebut Dewan Pengawas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Dengan adanya poin tersebut, kewenangan KPK dinilai akan melemah, dan KPK tak lagi mampu memberantas korupsi melainkan hanya mampu "mencegah" tindak kejahatan luar biasa tersebut.
Poin di ataslah yang dinilai akan menyebabkan kinerja KPK tidak lagi independen dan kredibel. Maka, bukan hal yang aneh jika beberapa kalangan masyarakat menilai wajar antara legislatif dan eksekutif yang berebut "kursi" Dewan Pengawas, karena merekalah yang berpotensi melakukan korupsi. Bagaimana pun, pemberantasan korupsi tak melulu hanya tugas KPK saja, kita sebagai rakyat pun perlu ikut andil dalam mengawasi tindakan-tindakan korupsi di Indonesia. Awasi dan lapor!